Sejarah Perkembangan Madzhab
by Unknown
A.
Pendahuluan
Masalah khilafiah merupakan persoalan yang terjadi dalam
realitas kehidupan manusia. Di antara masalah khilafiah tersebut ada
yang menyelesaikannya dengan cara yang sederhana dan mudah, karena ada saling
pengertian berdasarkan akal sehat. Tetapi dibalik itu masalah khilafiah dapat
menjadi ganjalan untuk menjalin keharmonisan di kalangan umat Islam karena
sikap ta’asub (fanatik) yang berlebihan, tidak berdasarkan pertimbangan
akal sehat dan sebagainya.
Perbedaan pendapat dalam lapangan hukum sebagai hasil penelitian (ijtihad),
tidak perlu dipandang sebagai faktor yang melemahkan kedudukan hukum Islam,
bahkan sebaliknya bisa memberikan kelonggaran kepada orang banyak sebagaimana
yang diharapkan Nabi :
اختلاف امتى رحمة (رواهالبيهقى
فى الرسالة الاشعرية)
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah rahmat” (HR. Baihaqi dalam
Risalah Asy’ariyyah).
Hal ini berarti, bahwa orang bebas memilih salah satu pendapat dari
pendapat yang banyak itu, dan tidak terpaku hanya kepada satu pendapat saja.
B. Sejarah Singkat Munculnya Mazhab Dalam Islam
Sebenarnya ikhtilaf telah
ada di masa sahabat, hal ini terjadi antara lain karena perbedaan pemahaman di
antara mereka dan perbedaan nash (sunnah) yang sampai kepada mereka, selain itu
juga karena pengetahuan mereka dalam masalah hadis tidak sama dan juga karena
perbedaan pandangan tentang dasar penetapan hukum dan berlainan tempat.[1][1] Sebagaimana diketahui, bahwa ketika agama Islam telah tersebar meluas
ke berbagai penjuru, banyak sahabat Nabi yang telah pindah tempat dan
berpencar-pencar ke nagara yang baru tersebut. Dengan demikian, kesempatan
untuk bertukar pikiran atau bermusyawarah memecahkan sesuatu masalah sukar
dilaksanakan. Sejalan dengan pendapat di atas, Qasim Abdul Aziz Khomis[2][2] menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ikhtilaf di
kalangan sahabat ada tiga yakni : 1. Perbedaan para sahabat dalam memahami
nash-nash al-Qur’an 2. Perbedaan para sahabat disebabkan perbedaan riwayat 3.
Perbedaan para sahabat disebabkan karena ra’yu. Sementara Jalaluddin
Rahmat melihat penyebab ikhtilaf dari sudut pandang yang berbeda, Ia
berpendapat bahwa salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak terjadi pada
zaman Rasulullah SAW.[3][3]
Setelah berakhirnya masa sahabat yang dilanjutkan dengan masa Tabi’in,
muncullah generasi Tabi’it Tabi’in[4][4]. Ijtihad para Sahabat dan Tabi’in dijadikan suri tauladan oleh
generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan
Islam pada waktu itu. Generasi ketiga ini dikenal dengan Tabi’it Tabi’in. Di
dalam sejarah dijelaskan bahwa masa ini dimulai ketika memasuki abad kedua
hijriah, di mana pemerintahan Islam dipegang oleh Daulah Abbasiyyah.
Masa Daulah Abbasiyah adalah masa keemasan Islam, atau sering disebut
dengan istilah ‘’The Golden Age’’. Pada masa itu Umat Islam telah
mencapai puncak kemuliaan, baik dalam bidang ekonomi, peradaban dan kekuasaan.
Selain itu juga telah berkembang berbagai cabang ilmu pengetahuan, ditambah
lagi dengan banyaknya penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Bani
Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah. Hal ini memungkinkan mereka dapat
mencapai hasil lebih banyak, karena landasannya telah dipersiapkan oleh Daulah
Bani Umayah yang besar. [5][5] Periode ini dalam sejarah hukum Islam juga dianggap sebagai periode
kegemilangan fiqh Islam, di mana lahir beberapa mazhab fiqih yang
panji-panjinya dibawa oleh tokoh-tokoh fiqh agung yang berjasa mengintegrasikan
fiqh Islam dan meninggalkan khazanah luar biasa yang menjadi landasan kokoh
bagi setiap ulama fiqh sampai sekarang.
Sebenarnya periode ini adalah kelanjutan periode sebelumnya, karena
pemikiran-pemikiran di bidang fiqh yang diwakili mazhab ahli hadis dan ahli
ra’yu merupakan penyebab timbulnya mazhab-mazhab fiqh, dan mazhab-mazhab inilah
yang mengaplikasikan pemikiran-pemikiran operasional.[6][6] Ketika memasuki abad kedua Hijriah inilah merupakan era kelahiran
mazhab-mazhab hukum dan dua abad kemudian mazhab-mazhab hukum ini telah
melembaga dalam masyarakat Islam dengan pola dan karakteristik tersendiri dalam
melakukan istinbat hukum
Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri
ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya
produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab seperti Abu Hanifah,
Imam Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lainnya, masing-masing
menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang
menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum.[7][7] Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh
dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan
dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan
hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis
maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam
mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan ia
-tanpa disadari- menjelma menjadi doktrin (anutan) untuk menggali hukum
dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin
pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang
khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi
pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbat
hukum.
Teori-teori pemikiran yang telah dirumuskan oleh masing-masing mazhab
tersebut merupakan sesuatu yang sangat penting artinya, karena ia menyangkut
penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi yang sistematis dalam usaha
melakukan istinbat hukum. Penciptaan pola kerja dan kerangka metodologi
tersebut inilah dalam pemikiran hukum Islam disebut dengan ushul fiqh.[8][8]
Sampai saat ini Fiqih ikhtilaf terus berlangsung, mereka tetap
berselisih paham dalam masalah furu’iyyah, sebagai akibat dari
keanekaragaman sumber dan aliran dalam memahami nash dan mengistinbatkan hukum
yang tidak ada nashnya. Perselisihan itu terjadi antara pihak yang memperluas
dan mempersempit, antara yang memperketat dan yang memperlonggar, antara yang
cenderung rasional dan yang cenderung berpegang pada zahir nash, antara yang
mewajibkan mazhab dan yang melarangnya.
Ikhtilaf bukan hanya terjadi para arena fiqih, tetapi juga terjadi pada
lapangan teologi. Seperti kita ketahui dari sejarah bahwa peristiwa “tahkim”
adalah titik awal lahirnya mazhab-mazhab teologi dalam Islam. Masing-masing
mazhab teologi tersebut masing-masing memiliki corak dan kecenderungan yang
berbeda-beda seperti dalam mazhab-mazhab fiqih. Menurut Harun Nasution,[9][9] aliran-aliran teologi dalam Islam ada yang bercorak liberal, ada yang
tradisional dan ada pula yang bercorak antara liberal dan tradisional.
Perbedaan pendapat pada aspek teologi ini juga memiliki implikasi yang besar
bagi perkembangan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Menurut hemat penulis, perbedaan pendapat di kalangan umat ini, sampai
kapan pun dan di tempat mana pun akan terus berlangsung dan hal ini menunjukkan
kedinamisan umat Islam, karena pola pikir manusia terus berkembang. Perbedaan
pendapat inilah yang kemudian melahirkan
mazhab-mazhab Islam yang masih menjadi
pegangan orang sampai sekarang. Masing-masing mazhab tersebut memiliki
pokok-pokok pegangan yang berbeda yang akhirnya melahirkan pandangan dan
pendapat yang berbeda pula, termasuk di antaranya adalah pandangan mereka
terhadap kedudukan al-Qur’an dan al-Sunnah.
C. Pengertian Mazhab
Menurut Bahasa “mazhab” berasal dari shighah mashdar mimy
(kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil
dari fi’il madhi “dzahaba” yang berarti “pergi”[10][10]. Sementara menurut Huzaemah Tahido Yanggo bisa juga berarti
al-ra’yu yang artinya “pendapat”[11][11].
Sedangkan secara terminologis pengertian mazhab menurut Huzaemah
Tahido Yanggo, adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh
imam Mujtahid dalam memecahkan masalah, atau mengistinbatkan hukum Islam.
Selanjutnya Imam Mazhab dan mazhab itu berkembang pengertiannya menjadi
kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbath Imam Mujtahid tertentu atau
mengikuti pendapat Imam Mujtahid tentang masalah hukum Islam.
Jadi bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud mazhab meliputi dua
pengertian
Mazhab
adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh seorang Imam Mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan kepada al-Qur’an dan hadis.
Mazhab
adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu peristiwa
yang diambil dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam perkembangan mazhab-mazhab fiqih telah muncul banyak mazhab
fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail [12][12], para ahli sejarah fiqh telah
berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para
ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah
ada.
Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa
bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih
bertahan sampai sekarang hanya tujuh
mazhab saja yaitu : mazhab hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah, Imamiyah
dan Ibadiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.[13][13]
1. Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
ahl
al-Ra’yi
kelompok ini dikenal pula dengan Mazhab Hanafi
ahl
al-Hadis terdiri atas :
1. Mazhab Maliki
2. Mazhab Syafi’I
3. Mazhab Hambali
2. Syi’ah
Syi’ah
Zaidiyah
Syi’ah
Imamiyah
3. Khawarij
4. Mazhab-mazhab yang telah musnah
Mazhab
al-Auza’i
Mazhab
al-Zhahiry
Mazhab
al-Thabary
Mazhab
al-Laitsi
Pendapat lainnya juga diungkapkan oleh Thaha Jabir Fayald al-‘Ulwani[15][15] beliau menjelaskan bahwa mazhab fiqh yang muncul setelah sahabat dan kibar
al-Tabi’in berjumlah 13 aliran. Ketiga belas aliran ini berafiliasi dengan
aliran ahlu Sunnah. Namun, tidak semua aliran itu dapat diketahui dasar-dasar
dan metode istinbat hukumnya.
Adapun di antara pendiri tiga belas aliran itu adalah sebagai berikut :
Abu
Sa’id al-Hasan ibn Yasar al-Bashri (w. 110 H.)
Abu
Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi (w. 150 H.)
Al-Auza’i
Abu ‘Amr ‘Abd Rahman ibn ‘Amr ibn Muhammad ( w. 157 H.)
Sufyan
ibn Sa’id ibn Masruq al-Tsauri (w. 160 H.)
Al-Laits
ibn Sa’ad (w. 175 H.)
Malik
ibn Anas al-Bahi (w. 179 H.)
Sufyan
ibn Uyainah (w. 198 H.)
Muhammad
ibn Idris al-Syafi’i (w. 204 H.)
Ahmad
ibn Muhammad ibn Hanbal (w. 241 H.)
Daud
ibn ‘Ali al-Ashbahani al-Baghdadi (w. 270 H.)
Ishaq
bin Rahawaih (w. 238 H.)
Abu
Tsaur Ibrahim ibn Khalid al-Kalabi (w. 240 H.)
Ibnu
Jarir at-Thabari
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang
pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa
bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang
berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab
harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab
tersebut.
D. Penutup
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam bukanlah suatu fenomena baru, tetapi
semenjak masa Islam yang paling dini perbedaan pendapat itu sudah terjadi.
Perbedaan terjadi adanya cirri dan pandangan yang berbeda dari setiap mazhab
dalam memahami Islam sebagai kebenaran yang satu. Untuk itu kita umat Islam
harus selalu bersikap terbuka dan arif dalam memendang serta memahami arti
perbedaan, hingga sampai satu titik kesimpulan bahwa berbeda itu tidak identik
dengan bertentangan – selama perbedaan itu bergerak menuju kebenaran – dan
Islam adalah satu dalam keragaman.
Daftar Pustaka :
Abu Sulaiman,
Abd. Al-Wahab Ibrahim, al-Fikr al-Ushuli, Jeddah : Dar al-Syuruq, Cet.
I, 1983.
Hasan, M.
Ali, Perbandingan Mazhab Fiqih,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, Cet. I, 1997.
Hasjmy, A., Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Bulan
Bintang.
Imbabi, M.
Musthofa, Tarikh Tasyri’ al-Islami, Kairo : al-Maktabah al-tijariyyah
al-kubro, Cet. IX, 1986
Ismail, Ahmad
satori, Pasang Surut Perkembangan Fiqh Islam, Jakarta : Pustaka
Tarbiatuna, Cet. I, 2003
Khomis, Qasim
Abdul Aziz, Aqwal al-Shahabah, Kairo : Maktabah al-Iman, 2002.
Mubarok,
Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, Cet. III, 2003.
Nasution,
Harun, Teologi Islam Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI Press, 2002.
Rahmat,
Jalaluddin, Tinjauan Kritis Atas Sejarah Fiqh, Artikel yayasan Paramadina, www.
Media.Isnet.org/islam/paramadina/konteks/sejarahfiqh01.html.
Romli SA, Muqaranah
Mazahib fil Ushul, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet. I, 1999.
Sirry, Mun’im A., Sejarah Fiqh Islam, Surabaya : Risalah Gusti,
Cet I, 1995.
Yanggo,
Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta : Logos, Cet.
III, 2003.
Yunus,
Mahmud, Kamus Arab-Indonesia,
Jakarta : PT. Hidakarya Agung, 1990.