Roland Barthes
by Unknown
A. Pendahuluan
Berbicara tentang
cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya,
perhatian kita tidak dapat dilepaskan dari The Birmingham Center for
Contemporary Cultural Studies yang dipelapori Richard Hoggart dan Raymond
Williams. Intitusi yang didirikan pada 1963 ini memang tidak dapat dipisahkan
dari kedua nama pendirinya tersebut. Hoggart dan Williams adalah pengajar
sastra pada program-program ekstramural, yang membuat kajian tentang
bentuk-bentuk dan ekspresi budaya yang mencakup budaya tinggi maupun rendah,
dan mengemukakan sejumlah teori tentang kaitan antara keduanya sebagai formasi
sosial historis (Budianta, 2002). Cultural studies itu sendiri mempunyai
beberapa definisi sebagaimana dinyatakan oleh Barker (via Storey, 2003), antara
lain yaitu sebagai kajian yang memiliki perhatian pada:
1. hubungan atau
relasi antara kebudayaan dan kekuasaan
2.
seluruh praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam
nilai-nilai partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan
bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah populasi
3.
berbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme
dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan
yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan
4.
berbagai kaitan wacana di luar dunia akademis dengan gerakan-gerakan sosial dan
politik, para pekerja di lembagalembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan.
Roland
Barthes lahir pada 12 November 1915 di kota Cherbourg di Normandia. Dia adalah anak dari petugas angkatan
laut Louis Barthes, yang tewas dalam pertempuran di Laut Utara sebelum anaknya
berusia satu tahun. Ibunya,
Barthes Henriette, dan bibi dan nenek telah membangkitkan Dia di desa URT dan
kota Bayonne . Ketika Barthes
berumur sebelas tahun, keluarganya pindah ke Paris , meskipun lampiran ke akar provinsi itu akan tetap kuat sepanjang
hidupnya.
Roland Barthes
sangat dikenal luas sebagai penulis yang menggunakan analisis semiotik dan
pengembang pemikiran pendahulunya seorang bapak semiologi atau semiotik
Ferdinand de Saussure. Tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam sebuah majalah
di Perancis pada awal pertengahan abad silam memuat berbagai pesan, yang
kemudian pesan-pesan itu disebutnya sebagai mitos. Barthes membahas mitos lebih
serius dan menuangkannya pada bukunya yang diterbitkan oleh Noondy Press tahun
1972 berjudul Mythologies di bagian Myth Today. Dalam konteks mitologi lama,
mitos berkaitan dengan sejarah dan terbentukan masyarakat pada masanya, tetapi
Barthes memandangnya sebagai bentuk pesan atau perkataan yang harus diyakini
kebenarannya walau tidak dapat dibuktikan.
Bagi Barthes
mitologis bukan saja berbentuk perkataan saja melainkan juga dapat berbentuk
tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, bahkan iklan
dan lukisan. Di tangan Barthes semiotik digunakan secara luas dalam banyak
bidang sebagai alat untuk berfikir kritis.
Pernyataan
Barthes yang paling dikenal adalah “La Mort de l’auteur” atau “matinya
si penulis”, The death of the author yang dengan itu ia ingin
menggarisbawahi bahwa tidak ada otoritasi interpretasi, dan interpretasi dapat
terus berjalan. Buku Mithologie (mitologi), karya Roland Barthes
merupakan buku seri yang memuat artikel-artikel yang sebagian besar
dipublikasikan dalam majalah Les Leures Nouvelles antara tahun 1954 dan
1956.
Tujuan dari
majalah tersebut membahas nilai-nilai dan sikap yang secara implisit memuat
berbagai pesan yang sesuai dengan kebudayaan seperti layaknya dalam koran,
majalah, laporan, dan foto, melalui objek atau material seperti permainan,
minuman, parfum dan mobil. Barthes menamakan pesan-pesan tersebut sebagai
“mitos” (Yunani: muthos),artinya tuturan yang mempunyai makna
pesan.
B. Roland Barthes dalam Konstelasi Cultural
Studies
Dengan
membicarakan dan mengkaji budaya pop, Storey sekaligus melakukan pemetaan
lanskap konseptual cultural studies secara umum meski diakuinya sendiri
apa yang ditulisnya ini hanyalah sekedar pengantar atau semacam pendahuluan
untuk memahami kajian budaya yang lebih menyeluruh dan mendalam. Sejumlah
teori, istilah khusus, beberapa contoh analisis, tokoh-tokoh, dan hal-hal yang
berkaitan dengan cultural studies dipaparkan secara ringkas. Teori-teori
semacam strukturalisme, marxisme, feminisme, poststrukturalisme, feminisme,
posmodernisme, poskolonialisme, kulturalisme, ideologi budaya massa, dan
sejumlah teori kontemporer lainnya disajikan dalam bukunya.
Juga ada sejumlah
teoretikus kontemporer yang dibicarakan, mulai dari Ferdinand de Saussure,
Matthew Arnold, Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P.Thompson, Stuart Hall,
Claude Levi-Strauss, Karl Marx, Antonio Gramsci, Theodor Adorno, Louis
Althusser, Laura Mulvey, Janice Radway, Ien Ang, Janice Winship, Roland
Barthes, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Michel Foucault, Edward Said,
Jean-Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Fredric Jameson, Pierre Bourdieu dan
sejumlah tokoh lainnya.
Objek-objek dan
praktik-praktik budaya pop yang ditampilkan dalam buku ini pun beragam mulai
dari seni lukis karya Andi Warhol, budaya liburan ke pantai, film serial TV
seperti Dallas, film-film Hollywood seperti Dance with Wolves maupun
Rambo, majalah perempuan, musik rastafarian Bob Marley, kelompok
The Beatles, novel dan film Tarzan, novel-novel seperti Heart of
Darkness dan Apocalypse Now, dan sejumlah objek serta praktik budaya
pop lainnya. Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey
menempatkan Roland Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan
Pascastrukturalisme”.
Sebuah predikat
yang tidak mudah untuk dikenakan pada tokoh-tokoh semacam Barthes, Foucault,
Derrida ataupun, Baudrillard, mengingat luasnya kajian yang mereka bicarakan
dalam sejumlah tulisan-tulisan mereka. Apa yang dilakukan Storey juga mirip
dengan sejumlah teoretisi kajian budaya lainnya yang bukunya telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebut saja misalnya Christ Barker, Cultural
Studies, Teori dan Praktik terbitan Kreasi Wacana, 2005.
C.
Pemikiran Roland Barthes
1. Mitos Sebagai
Sistem Semiologi
Mitos adalah
suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakinii kebenarannya tetapi tidak
dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tertapi merupakan suatu cara
pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu jenis tuturan,
tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa mitos
adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan (message). Tetapi
mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan melainkan dengan cara menuturkan
pesan tersebut, misalnya dalam mitos, bukan hanya menjelaskan tentang objek
pohon secara kasat mata, tetapi yang penting adalah cara menuturkan tentang
pohon tersebut. Apa saja bisa dikatakan sebagai mitos selama diutarakan dalam
bentuk wacana/diskursus.
Artinya, orang
menuturkan tentang pohon dapat dibuat dalam berbagai macam versi. Pohon yang
diutarakan oleh kelompok lingkungan bukan saja sebagai objek tetapi pohon
mempunyai makna luas, psikologi, sakral, pelestarian dan seterusnya. Dalam arti
pohon diadaptasi untuk suatu jenis konsumen, dengan kerangka literatur yang
mendukung dan imaji-imaji tertentu yang difungsikan untuk keperluan sosial (social
usage) yang ditambahkan pada objek murni. Pengertian mitos dalam konteks
mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian suatu bentukan dari masyarakat yang
berorientasi pada masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis,
kekal. Mitos dalam pengertian lama identik sejarah/histori, bentukan masyarakat
pada masanya.
Menurut Barthes,
ada dua kekeliruan besar dalam kehidupan sosial modern. Pertama, masyarakat
berfikir bahwa institusi dan intelektual merupakan suatu hal yang bagus karena
mereka mencangkup dalam sesuatu yang alami. Kedua, adalah melihat bahasa
sebagai suatu fenomena yang lebih dari satu set bentuk konvensional. Barthes
berusaha melakukian analisis dan mengkritik masyarakat. Simana imaji dan iklan,
hiburan, budaya populer, dan literer, serta barang yang dikonsumsi sehari-hari
ditelaah secara subyektif dalam hasil danpenerapannya.
Menurut Roland
Barthes tuturan mitologis bukan saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu
dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga,
pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang mempunyai modus
representasi. Paparan contoh di atas mempunyai arti (meaning) yang
belum tentu bisa ditangkap secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning
sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis dibuat untuk
komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi sehingga dapat diterima oleh
akal. Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek,
konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi. Dengan
demikian maka mitos tergolong dalam suatu bidang
pengetahuan
ilmiah, yakni semiologi.
Dalam hal
hubungan mitos dan semiologi, Barthes berhutang budi pada Saussure. Sebab
Saussure melihat studi linguistik sebagai studi kehidupan tanda dalam
masyarakat, yang kemudian diadopsi dengan nama semiologi. Semiologi berasal
dari kata semion yang berarti tanda. Semiologi tidak berurusan dengan
isi melainkan dengan bentuk yang membuat suara, imaji, gerak, dan
seterusnya yang berfungsi sebagai tanda. Mitologi terdiri dari semiologi
dan ideologi. Semiologi sebagai formal science dan ideologi
sebagai historical science. Mitologi mempelajari tentang ide-ide
dalam suatu bentuk Mitos yang berurusan dengan semiologi telah berkaitan
dengan dua istilah, yakni penanda signifier (significant) dan
petanda signified (signife), dan kemudian bertautan lagi dengan
istilah sign (tanda).
Misalnya satu
karangan bunga menandakan cinta. Dalam hal ini berarti tidak hanya berurusan
dengan signifier dan signified, bunga dan cinta, karena dalam
tahap analisis terdapat tiga istilah, bunga yang menandakan cinta adalah sebagai
tanda (sign). Dalam hal ini signifier adalah suatu konsep bahasa
(bunga), signified adalah gambaran dari mental bunga, dan sign merupakan
hubungan antara konsep dan gambaran mental yang melahirkan suatu arti, yakni:
cinta. Jika hal tersebut diterapkan pada contoh psikis (Freud), bahwa psikis
manusia adalah representasi. Misalnya, di satu pihak terdapat tingkah laku
seseorang yang telah dipengaruhi oleh mimpi-mimpinya, di lain pihak terdapat sign
yang mengartikan kejanggalan tingkah laku orang tersebut,
kesalahan-kesalahan tuturannya atau hubungan keluarganya. Berkaitan dengan
contoh tersebut Barthes cenderung memisahkan ketiga istilah signifier, signified,
dan sign.
2.
Membaca Dan
Mendeteksi Mitos
Untuk mengetahui
atau mendeteksi mitos dapat dengan cara mengetahui karakter-karakter mitos
seperti yang dikatakan Barthes sebagai berikut :
1. Tautologi :
Suatu
pendefinisian dari suatu pernyataan yang tidak dapat diperdebatkan lagi,
misalnya : “karena dari sananya sudah begitu” isi dari pernyataan tersebut telah
direduksi menjadi penampilan. Sebagai contoh lain adanya suatu
pernyataan-pernyataan hampa seperti “ Midnight’s Summer Dream adalah
karya Shakespere“ tidak mengatakan apa-apa tetapi mengandung implikasi
lainnya seperti prestise karena dalam pernyataan itu terdapat nama
Shakespere.
2. Identifikasi:
perbedaan,
keunikan direduksi menjadi satu identitas fundamental. Misalnya: “semua agama
adalah sama” atau sama sekali diasingkan dibuat agar tidak dimengerti.
3.
Neither-norism (bukan ini bukan itu)
Orang yang
menganut opini dalam posisi di tengah tidak berani memilih/memihak.
4.
Mengkuantitaskan yang kualitas
Kualitas
direduksi ke kuantitas, semua tingkah laku manusia, realitas sosial dan politik
direduksikan kepada pertukaran nilai kuantitas. Sebagai contoh misalnya
kesuksesan sebuah karya seni jika menghasilkan banyak uang, demikian pula untuk
mengukur kesuksesan seorang aktor atau aktris. Masalah besar seperti kemiskinan
direduksi menjadi angka-angka belaka.
5. Privatisasi
Sejarah
Mitos
membuang arti sejarah yang sebenarnya, sejarah hanya diperuntukkan sajian
tamu/pejabat misalnya objek seni untuk turis, atau sebagai pertunjukan.
3.
Fashion
Dalam buku The Fashion System, Barthes
membicarakan panjang lebar mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang
terdahulu, dalam buku ini Barthes juga membicarakan operasi struktur penanda (signifier)
mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau
signifikansinya. Memang kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas
dari bidang semiotika yang selama ini dikembangkannya. Pada salah satu
kesimpulannya mengenai tata busana ini, Barthes menyatakan sebagai berikut.
“... in the West, fashion tends to become a
mass phenomenon, precisely insofar as it is consumed by means of a
mass-circulation press (whence the importance and, as it were, the autonomy of
written fashion), the maturity of the system is thus adopted by mass society
according to a compromise. Fashion must project the aristocratic model, the
source of its prestige: this is pure fashion, but at the same time it must
represent, in a euphoric manner, the world of its consumers by transforming
intra-worldly functions into signs (work, sport, vacations, seasons,
ceremonies): this is naturalized fashion, whose signifieds are named. Whence its
ambiguous stastus: it signifies the world and signifies itself, it constructs
it self here as a program of behavior, and the as a luxurious spectacle (Barthes,
1983a:292-293).”
Dunia mode merupakan proyek model kaum
aristokrat sebagai salah satu bentuk atau wujud pretise. Pada
perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan
fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk kantoran,
olah raga, liburan, berburu, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk
musim-musim tertentu seperti pakaian musim dingin, musim semi, musim
panas ataupun musim gugur. Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trend akan
mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas. Yang
tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable
alias ketinggalan mode. Tata busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian
tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan busana, menjadi sebuah
tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol status kehidupan.
Hal ini tidak hanya terjadi di dunia Barat
saja, tetapi juga tengah melanda Indonesia. Barthes tidak salah membidik
salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai salah satu kajiannya, mengingat Paris
merupakan kiblat mode dunia. Begitulah, salah satu topik pembicaraan
Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni tentang dunia mode. Dunia
yang kini penuh dengan kemewahan para model yang memperagakannya di sejumlah
catwalk pusat-pusat peragaan busana di berbagai kota metropolis. Status
seseorang dalam masyarakat seringkali dicitrakan melalui merk dan
rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Padahal kalau ditelusuri,
dunia mode adalah salah satu pelegitimasi ideologi gender yang selama ini
sering dikonter oleh para feminis.
4. Camera
Selain bicara tentang mode, Barthes juga
berbicara tentang foto, khususnya tentang foto-foto dalam media massa dan
iklan. Hal ini diungkapkannya dalam dua artikelnya, “The Photographic Message”
pada 1961 dan “Rethoric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua
artikelnya ini, Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam
sejumlah foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang
sanggup menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi)
dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut
sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer.
Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut,
ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message) yang
menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah
dimiliki sebelumnya. Di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika
Presiden Soeharto menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah
memperhatikan Soeharto yang tengah membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu
berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna
denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota
persetujuan antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus.
Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan
tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang pemimpin
yang telah 32 tahun berkuasa.
Contoh-contoh analisis semacam inilah yang
dikemukakan Barthes dalam analisisnya tentang sejumlah foto. Salah satunya
tentang seorang tentara berkulit hitam yang mengenakan seragam militer Prancis
yang tengah memberikan penghormatan militer, matanya terpancang pada bendera
nasional. Foto ini menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam
analisisnya, Barthes menyatakan bahwa foto itu ingin menyatakan Prancis sebagai
sebuah negara besar, tempat para putranya, tanpa diskriminasi warna kulit,
dengan penuh setia, melayani bangsa di bawah kibaran benderanya. Foto itu
merupakan konter atas para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52).
Seorang fotografer dalam memotret meringkali
memperhatikan pose, objek yang dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah
manipulasi demi tercapainya apa yang hendak “ditulisnya”. Hal ini seringkali
ditemukan dalam sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih
menekankan kekuatan foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana
persuasif yang seringkali memanfaatkan tema-tema keintiman, seks, kekhawatiran,
dan idola (St. Sunardi, 2004:157-158).
Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes
tidak memfokuskan pada foto-foto dalam media massa dan iklan tetapi memfokuskan
kajiannya pada koleksi foto-foto pribadinya. Berbeda dengan pendekatannya pada
dua artikelnya pada 1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotik atas
foto sebagai produk budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya
dengan pendekatan fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan
sebuah pengalaman, tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman
seseorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang
foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap eksplorasi,
animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi ukuran Barthes
untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku pada
satu titik (St. Sunardi, 2004:166).
D.
Roland Barthes di
Mata Pembaca Indonesia
Di Indonesia,
Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya tentang semiotika (semiologi) terutama
tentang konsep pemaknaan konotatif atau yang lebih dikenal istilah second
order semiotic system. Juga pernyataan Barthes tentang kematian
pengarang, atau the dead of the author, seringkali dikutip dengan
berbagai ketidakjelasan. Dalam hal ini, kata “author” tidak lagi
mempunyai otoritas dalam memberikan interpretasi terhadap karyanya. Pembacalah
yang kemudian memberikan interpretasi sesuai dengan horison harapannya. Sayangnya,
kata “pengarang” dalam bahasa Indonesia tidak memiliki kedekatan dengan kata ‘otoritas’
dalam konteks penafsiran terhadap karya sastra. Oleh karena itu, menurut
Barthes, meski “author” telah mati, tetapi “the writer” tidak
mati setelah karya sastra itu dipublikasikan. Writer atau penulislah
yang kemudian menikmati royalti dari penerbit karya sastra yang mereka jual
kepada pembaca. Penulis jugalah yang kemudian namanya dibicarakan dalam
sejumlah kritik atau resensi dalam sebuah media cetak.
Dalam konteks
ini, Barthes membedakan pengertian kata author dengan writer secara
jelas. Barthes tidak hanya sering disalahpahami konsep-konsepnya, tetapi juga
seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh strukturalisme atau
poststrukturalisme dan ahli semiotika. Bukubuku yang membicarakan Barthes
terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali terbatas dalam kategorikategori tersebut.
Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir
Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini, tidak lebih dari
hitungan jari. Sebut saja misalnya: Semiologi Roland Barthes oleh
Kurniawan (2001), Barthes, Seri Pengantar Singkat edisi terjemahan
tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika Negativa karya St. Sunardi
(2004).
Dalam edisi
bahasa Indonesia, karya-karya Barthes atau pembicaraan mengenai Barthes tidak lebih
banyak dibandingkan pemikir Prancis lain yang merupakan sahabat sekaligus rival
intelektualitasnya, yakni Michel Foucault. Buku Barthes yang berjudul Mitologi
(terjemahan dari Mythology yang diterbitkan Kreasi Wacana, 2005)
muncul belakangan setelah sejumlah karya Foucault terlebih dahulu dikenal
pembaca Indonesia. Kedua pemikir asal Prancis ini, bersama dua rekan lainnya, Lacan
dan Claude Lévi-Strauss sering dikategorikan sebagai empat pemikir utama
kontemporer asal Prancis yang tidak hanya terkenal di negerinya sendiri tetapi
telah menjadi trend pemikiran dunia. Pada akhir 1960-an, mereka seringkali
dicitrakan sebagai fashion strukturalis, bahkan mereka dikarikaturkan oleh
Maurice Henry tengah berdiskusi di rerumputan dengan mengenakan baju rumput.
Dari buku-buku di
atas, hanya dua judul yang terakhir yang mengupas karya-karya Barthes secara
menyeluruh. Buku Kurniawan lebih mengupas teori-teori Barthes dalam kajian
semiotika. Dalam buku Culler dan St. Sunardi, tampaklah bahwa Barthes seorang
pemikir yang kaya warna, tokoh penting abad XX dari Prancis. Culler bahkan
menyebut Barthes sebagai manusia yang terbagi karena dia memiliki sejumlah
keahlian dalam berbagai bidang, ia adalah sejarawan sastra, mitolog, ahli
semiotika, strukturalis, seorang hedonis, penulis, dan manusia huruf.
E. Penutup
Teori semiologi
Roland Barthes (1915-19980) jelas sangat erat dengan teori semiologi Ferdinand
de Saussure (1857-1913). Perbedaannya, Saussure sebagai bapak semiotik
menyatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem tanda” lebih bersifat dikotomik.
Sedangkan Barthes lebih triadik dengan ketiga elemennya yakni signifier,signified,
dan sign. Selain itu semiotiknya bergerak lebih luas. Melihat hal
ini kita bisa mengkomparasikan semiotik Barthes dengan Peirce yang juga
bersifat triadik: sign, object, interpertant. Kesamaannya
adalah mereka menggunakan semiotik dalam banyak bidang. Bagi Peirce yang perlu
digarisbawahi adalah aspek interpertasi. Setiap tanda dapat diinterpertasikan
secara terus-menerus. Tetapi bagi kedua tokoh Roland Barthes maupun Peirce,
semiotik atau semiologi adalah alat untuk berpikir kritis. Bila Barthes
mengatakan kita harus menguraikan mitos, Pierce mengatakan kita harus
menguraikan teks.
Beberapa contoh
kajian Barthes tentang aspek-aspek budaya massa atau pop sebagaimana
dibicarakannya dalam beberapa buku tersebut, dari sekian buku Barthes yang
lain, telah memberikan gambaran yang jelas bahwa pemikir Prancis ini tidak saja
sebagai tokoh semiotika yang selama ini dipredikatkan kepadanya, tetapi juga
sebagai seorang tokoh pengkaji cultural studies. Kepakaran Barthes dalam
bidang semiotika seolah-olah menenggelamkan ketertarikan Barthes dalam bidang
lainnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Culler, Barthes merupakan manusia banyak
dimensi, manusia dengan sejumlah keahlian.
Seringkali
Barthes dikategorikan sebagai seorang strukturalis sekaligus seorang
poststrukturalis; memang sebuah kategori yang tidak mudah untuk memberi
predikat kepadanya. Pemikir Prancis yang meninggal pada 1980 akibat diseruduk
truk sehabis keluar dari sebuah kafe di Paris ini, tidak diragukan lagi
merupakan tokoh kajian budaya Prancis, selain tokoh-tokoh asal Inggris semacam
Hoggart maupun Williams. Barthes adalah penulis sejumlah fenomena budaya
populer khususnya di Prancis selain sebagai tokoh semiotika yang terkenal
dengan bukunya yang berjudul Eléments de Sémiologie (1964).
Daftar
Pustaka
Barthes, Roland. 1983. Mythologies (translated
by Annette Lavers). New York: Hill and Wang.
Barthes, R. 1967. Denotation and Conotation
dalam Element of Semiology, London:Jonatahan Cape.
Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri
Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani). Yogyakarta: Jendela.
Zoest, A.V. Semiotika, Tentang Tanda, Cara
Kerjanya. Terjemahan Ani Sukowati. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.