Hukum Islam di Indonesia "NU & Muhamadiyyah"

by


BAB I
Pendahuluan
Segala puji syukur kepada Allah SWT yang telah mengajarkan manusia apa-apa yang belum diketahuinya dan masih memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan kepada penulis,sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas resensi mata kuliah Sejarah Hukum Islam yang berjudul “Hukum Islam Di Indonesia (perspektif Muhammadiyah & NU). Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, sebagai pembawa risalah-Nya yang memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan sebagai uswatun al-hasanah (suri tauladan yang baik) bagi seluruh alam.           
Topik ini berhubungan dengan salah satu sumber hukum Islam, setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits dan Ijma’ (consensus ulama), yaitu Ijtihad. Ijtihad secara sebenarnya adalah usaha sungguh-sungguh kalangan ahli hukum Islam yang bertolak dari maksud-maksud (maqashid) Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan akal sehat dan dalil-dalil logika untuk sampai kepada suatu ketentuan hukum syar’i. formulasi hukum melalui ijtihad ini biasanya mengunakan metodologi ushul fiqh, dengan metode-metode standar seperti qiyas (analogi), istihsan (pemakaian opsi baik),dll.
Di zaman lampau, ijtihad dilakukan secara individual, dan pada zaman modern, karena kelangkaan ulama atau ahli hukum tipe mujtahid masa lalu, maka tugas ini dilakukan secara kolektif. Usaha bersama untuk memformulasikan hukum ini dapat disebut juga ijtihad jama’i. usaha ini di Indonesia, antara lain, dilakukan oleh Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama’.       
Lajnah Tarjih Muhammadiyah mengadakan penyeleksian terhadap ketentuan-ketentuan hukum Islam yang pernah dikeluarkan oleh para mujtahid musim masa lalu. Tarjih berarti mengambil pendapat yang terkuat dari beberapa pendapat yang ada, dari aliran mazhab mana pun. Karena itu dalam masalah fiqh, Muhammadiyah terkenal tidak bermazhab, atau tidak terikat oleh mazhab manapun. Selain penyeleksian, lembaga ini juga memutuskan ketentuan-ketentuan hukum baru yang belum dibicarakan oleh para pendahulu.     
Sementara itu, pertemuan Lajnah Bahtsul Masa’il NU dihadiri oleh alim-ulama’ NU untuk membahas “kitab-kitab kuning” dari karangan imam-imam mazhab, terutama mazhab syafi’i. Tujuannya adalah menyarikan ketentuan-ketentuan hukum Islam bagi kepentingan umum. Dalam pertemuan-pertemuan ini juga membahas masalah-masalah baru yang belum jelas ketentuan hukumnya.





















BAB II           
Hukum Islam Di Indonesia 
A.    Pengertian Hukum
Berbagai ahli mengemukakan beragam definisi tentang hukum sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Kata “hukum” dan yang berhubungan dengan itu dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab. Kata “hukum” berasal dari kata Arab hukm(kata jamaknya ahkam) yang berarti ketetapan, perintah, kekuasaan, pemerintahan, dan lain-lain. Kata hukm dalam Qur’an sebagai “putusan atau “ketetapan” terhadap masalah yang diputuskan atau ditetapkan, disamping berhubungan dengan perbuatan Allah, juga berhubungan dengan perbuatan manusia. Hukum dalam pandangan para ilmuan muslim bukanlah sebuah pengkajian berdiri sendiri atau empiris. Ia adalah aspek praktis doktrin sosial dan keagamaan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.          
Secara etimologi, kata syari’at berarti jalan yang membekas menuju air karena sudah sering dilalui, tetapi dipakaikan dalam pengertian sehari-hari sebagai sumber air yang selalu diambil orang untuk keperluan hidup mereka. Sedangkan menurut terminology agama syari’at adalah apa yang digariskan/ditentukan oleh Allah dalam beragama untuk pengaturan hidup para hamba-Nya.     
Dengan demikian, syari’at adalah hukum ilahi, dengan pengertian bahwa ia perwujudan konkrit dari kemauan ilahi melalui kepatuhan manusia untuk mengikuti tuntunan-Nya dalam kehidupan pribadi masyarakat. Kesempurnaan dan kelengkapan yang mendapat restu ilahi itu (lihat surat al-Ma’idah 5:3) termasuk hukum yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari agama secara keseluruhan. Seperti dipertanyakan oleh Smith, apakah hukum itu dapat berubah atau tidak? Smith menjawab bahwa pertanyaan itu sebetulnya hanya dapat ditanyakan kepada Tuhan. Dalam hal ini fuqaha’ telah mengembangkan sebuah prinsip ushul fiqh yang berbunyi: La yunkaru taghayyur al-ahkam bitaghayyuri al-zaman (perubahan ketentuan-ketentuan hukum dengan perubahan zaman tidak ditolak). Allah itu sendiri tetap sebagai al-Hakim, namun Ia membentangkan sebuah esensi perintah yang berkembang, persis seperti Ia melingkari manusia dengan lingkungan yang berkembang.   
Kelanjutan hukum Tuhan melalui perintah yang diwahyukan diteruskan oleh sebuah cara berfikir manusia yang tidak terlepas dari konteks dan maksud-maksud wahyu. Penanganan kondisi yang berubah ini dilakukan melalui ijtihad. Ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari kalangan ahli hukum Islam yan bertolak dari maksud-maksud (maqashid), Qur’an dan Sunah untuk sampai kepada suatu ketentuan hukum syara’.       
B.     Perioderisasi Pembentukan Hukum Islam
Menurut al-Khudhari, hukum Islam dalam sejarahnya melalui enam fase tasyri’ (legislasi) yang mempunyai cirri sendiri seuai perkembangan yang dilalui oleh masyarakat Islam. dikembalikan kepada beliau. Kedua adalah fase para sahabat Nabi yang senior (kibar ash-shahabah), mulai dari saat kematian Nabi sampai akhir masa Khulafa’Rasyidin. Ketiga adalah fase para sahabat Nabi yang yunior (shighar shahbah), mulai dari permulaan masa Umawi sampai kurang satu abad setelah Hijriah. Keempat adalah fase fiqh menjadi ilmu tersendiri, mulai dari awal abad kedua Hijriah sampai akhir abad ketiga. Kelima adalah fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum dikalangan fuqaha’, mulai dari awal abad keempat Hijriah sampai akhir masa Abbassiyah dan penaklukan Tartar atas dunia Islam pada abad ke-7 Hijriah (1258). Keenam fase taqlid (mengikuti kepada pendapat imam-imam terdahulu), mulai dari kejatuhan Dinasti Abbasiyah sampai sekarang.    
Selain disimpulkan oleh al-Khudhari ini, sebenarnya sebuah fase baru sedang tumbuh, hukum Islam sebenarnya sedang memasuki fase ketujuh; yaitu fase kodifikasi/kompilasi di beberapa Negara dan ijtihad untuk masalah-masalah kontemporer. Tujuannya untuk memperkaya hukum positif nasional.       
Kompilasi menurut kamus hukum adalah proses penghimpunan hukum-hukum yang ada sebelumnya dalam bentuk hukum-hukum itu dibuat menjadi hukum dengan pembuangan bagian-bagian yang telah dibatalkan dan penggantian amandemen-amandemen dalam sebuah penyusunan yang bertujuan untuk memudahkan penggunaanya.           
Di Indonesia, usaha Kompilasi Hukum Islam dimulai dari penandatanganan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurispudensi No. 07/KMM/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1955 di Yogyakarta. Landasan yuridisnya adalah UU No. 14/1970 Pasal 20 ayat (1):” Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”           
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terdiri dari tiga buku: Buku I tentang Hukum perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisn, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Semuanya terdiri dari 29 pasal. Kompilasi ini didasarkan pada Intruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan dilaksanakan berdasar Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.

















BAB III         
KEPUTUSAN LAJNAH TARJIH MUHAMMADIYAH

A.    Pemahaman Muhammadiyah         
           
Secara bahasa, Muhammadiyah berarti aliran Muhammad seperti halnya Syafi’iyah adalah aliran atau mazhab Syafi’i. Mengikuti pengertian bahasa ini, maka Muhammadiyah adalah pemahaman mengikuti Nabi Muhammad sebagai pembawa agama Islam yang berasal dari Allah. Muhammadiyah didirikan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 bertepatan dengan tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan, persyarikatan ini menjadi badan hukum yang disahkan pertama kali pada tanggal 22 Agustus 1914 berdasarkan Gouverment Besluit No. 81, kemudian dirubah pada tanggal 2 September 1921 berdasarkan Gouverment Besluit No.40. Departemen Kehakiman RI dalam suratnya No.Y.A5/60/4, tanggal 8 September 1971, menyatakan status badan hukum tersebut masih berlaku.
B.     Lajnah Tarjih           
Lajnah Tarjih secara bahasa adalah Komite Pencari Pendapat Terkuat. Secara keorganisasian, ia adalah sebuah sidang musyawarah yang berada di bawah Majlis Tarjih Pimpinan Muhammadiyah, dengan tugas membantu persyarikatan ini. Lajnah Tarjih berasal dari gagasan besar K.H. Mas Mansur pada Kongres Muhammadiyah XVI di Pekalongan pada tahun 1927. Tokoh ini memutuskan agar dalam peryarikatan ini ada tiga majlis, yaitu Majlis Tasyri’, Majlis Tanfidz dan Majlis Taftisy. Usulan ini diterima secara aklamasi oleh kongres. Setahun kemudian, yaitu pada Muktamar Muhammadiyah ke-17 di Yogyakarta, dibentuk sebuah majlis tasyri’ dengan nama Majlis Tarjih. K.H. Mas Mansur diangkat menjadi ketuanya.
Sesuai dengan namanya, Lajnah Tarjih antara lain bertugas untuk mempelajari pendapat berbagai fuqaha’ dalam masalah-masalah yang diperselisihkan, lalu mengambil pendapat yang dipandang lebih kuat sesuai dengan cara berfikir dan kondisi sekarang. Sungguhpun demikian, disamping mengambil pendapat yang dipandang kuat dari berbagai pendapat fuqaha’, Lajnah Tarjih juga memutuskan masalah-masalah baru yang tidak dibahas oleh fuqaha’ dimasa lalu, seperti perbankan, keuangan modern, asuransi, kewanitaan, dan lain-lain.       
C.    Metodologi
Didalam memutuskan suatu masalah, maka Lajnah Tarjih menggunakan dalil-dalil dari Qur’an dan Sunnah maqbulah (yang dapat diterima otentisitasnya). Mengenai penerimaan Sunnah ini antara lain 11 kaidah yang diperhatikan oleh Lajnah Tarjih. Qiyas sebagai suatu metode untuk menyarikan ketentuan hukum hanya digunakan bila ia sangat diperlukan. Begitu juga metode-metode ushul fiqh yang lain. Dengan demikian, selama masih ada dalil Qur’an dan Sunnah, maka tidak dipergunakan qiyas. Cirri jama’i dari Lajnah Tarjih adalah pembahasan yang bersifat kolektif terhadap dalil-dalil yang belum jelas atau tidak tegas terhadap masalah tertentu yang dibicarakan. Ciri tarjih-nya adalah karena Lajnah Tarjih membicarakan masalah dengan system musyawarah oleh sekelompok ahli yang mencari dalil-dalil yang dipandang kuat untuk dijadikan dasar memutuskan hukum suatu masalah (ijtihad jama’i).





















BAB IV
KEPUTUSAN LAJNAH  BAHTSUL MASA’IL NU     
           
A.    Organisasi Kaum Ulama     
NU (Nahdlatul Ulama) adalah sebuah organisasi Islam terkenal di Indonesia yang mempunyai basis kuat di daerah-daerah pedesaan, terutama Jawa dan Madura. Sesuai namanya, Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ (Organisasi Kebangkitan Para Ulama), NU sebenarnya berusaha memelihara tradisi keagamaan yang diwariskan oleh kaum ulama dari dahulu sampai sekarang.  
Jam’iyyah (organisasi, perkumpulan) Nahdlatul Ulama didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan mendapat pengakuan sebagai badan hukum dari Gouverneur Generaal van Nederlansch-Indie pada tanggal 6 februari 1930, No.1x. pasal 4 Anggaran Dasar pertama NU menyebutkan bahwa organisasi ini mempunyai dua jenis keanggotaan. Pertama dari kaum ulama’, dan kedua dari muslim biasa yang tidak termasuk ulama. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa NU bertujuan untuk memegang teguh salah satu dari empat mazhab fiqh yang terkenal (Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’I, dan Mazhab Hambali).   
B.     Bahtsul Masail          
Bahtsul masail adalah kepanjangan dari Bahtsu al-Masail ad-Diniyah (Penelitian atau Pembahasan Masalah-masalah Keagamaan)