Sejarah Hukum Islam
by Unknown
A. PENDAHULUAN
Salah satu problema mendasar dalam teori hukum Islam yang senantiasa
marak dan mengandung kontraversi adalah,apakah hukum Islam itu bersifat abadi atau eternal,atau apakah ia bisa
beradaptasi sampai pada tahap bahwa perubahan dan modernisme bisa dicari di
bawah perlindungannya? Berbagai tesis diajukan untuk menjawab problematika
ini,yang secara umu m tersimpul
dalam dua teori,yaitu Teori eternalitas,dan Teori adaptasiblitas atau
elastisistas hukum Islam.
Teori eternalitas yang dipegangi oleh
sejumlah tokoh semisal C.S. Hurgronje,Joseph Schact dan oleh kebanayakan Yuris
muslim Hadits oriented (tradisionalis),mempertahankan pendapat bahwa dalam konsepnya
dan menurut sifat perkembangannya serta metodologinya hukum Islam adalah abadi,
statis, final dan mutlak yang karenanya tidak bisa beradaptasi dengan perubahan
sosial.Argumen-argumen yang dikemukakan oleh para pendukung teori ini dapat
diringkas dalam tiga pernyataan umum berikut : pertama, hukum untuk Islam
adalah abadi karena konsep hukum yang bersifat otoriter, ilahiyah, absolute dan
tidak memperbolehkan perubahan dalam dalam konsep-konsep atau intitusi-intitusi
hukum.Sebagai konsekuensi logis dari konsep ini,maka sangsi yang diberikannya
bersifat ilahiyah,karenanya tidak bisa berubah.Kedua, hukum Islam adalah abadi
karena sifat asal dan perkembangan dalam periode pembentukannya, menjauhakan
dari intitusi hukum dan perubahan sosial. Ketiga, hukum Islam adalah abadi
karena ia tidak mengembangkan metodologi perubahan hukum yang memadai.
Sementara teori elastisistas hukum Islam
yang dipegangi oleh sejumlah ahli dalam bidang Islam seperti,Linant de
Ballefonds dan mayoritas reformis serta yuris muslim,menyatakan bahwa
prinsip-prinsip hukum Islam sebagai pertimbangan maslahah.
Fleksibelitas hukum Islam dalam praktek,
penekanannya pada aspek Ijtihad (independent legal reasoning), menunjukkan
bahwa hukum Islam bisa beradaptasi dengan perubahan sosial. Hukum Islam
merupakan bagian integral dari syari’ah, bersifat dinamis dan relevan untuk
setiap zaman dan tempat,lkal dan temporal.
Ada indicator yang dapat digunakan
sebagai bukti keluasan dan keluwesan hukum Islam,diantaranya : pertama,
nash-nash hukum dalam al-Qur’an tidak mematok segenap hukum yang dihadapi oleh
manusia secara kaku. Walaupun al-Qur’an telah menjelaskan beberapa persoalan
secara rinci seperti : zakat, shalat, puasa dan haji. Namun dalam banyak hal
al-Qur’an hanya menetapkan hukum secara global,sehingga manusia dituntut untuk
menginterpresikannya lebih rinci lagi. Kedua, konsekuensi logis yang timbul
kemudian adalah nash-nash hukum yang terkandung dalam al-Qur’an tidak hanya
dapat dipahami secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual.Menurut para
ulama ushul fiqh hamper semua ayat al-Qur’an bermakna ganda,yang
Selanjutnya disebut dengan dalalah
mantuq dan dalalah mafhum.Karena karakteristik hukum itu demikian ,maka dalam
satu ayat hukum dapat ditarik beberapa ketetapan hukum.Misalnya firman Allah
dalam surat Penjualan Alat Listrik-Baqarah : 233, yang artinya “ kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf”. Ayat ini
mengeksplisitkan beban memberi nafkah keluarga (istri) merupakan kewajiban
suami (ayah), juga dapat dipahami secara implisit kewajiban ayah memberikan
makanan dan pakaian kepada anak.Ketiga, nash-nash hukum dalam Penjualan Alat
Listrik-Qur’an menetapkan hukum-hukum berdasarkan ‘illat(sebab) dan
kemaslahatan,dengan demikian ‘illat dan kemalahatan dapat dijadikan ukuran
(dasar) anologi hukum suatu masalah yang tidak disinggung secara jelas dalm
Penjualan Alat Listrik-Qur’an.Dengan perkataan lain,hukum Islam sebagai produk
hukum harus mampu menjawab permasalahan yang ada seusai dengan perkembangan dan
kemajuan zaman. Setiap persoalan baru yang muncul pasti tidak akan terlepas
dari pandangan hukum terhadapnya.Dimensi ini tidak dapat terlihat dari
munculnya dalam sejarah, berbagai madzhab hukum memiliki corak dan
karakteristik yang berbeda-beda seusai dengan latar belakang sosiso-kultural
dan politik dimana mazhab itu tumbuh dan berkembang.
Perkembangan ini paling tidak didukung
oleh empat faktor utama yaitu pertama,dorongan keagamaan. Karena Islam
merupakan sumber norma dan nilai-nilai normatif yang mengatur seluruh aspek
kehidupan ummat Islam, maka kebutuhan untuk membumikan norma dan nilai tersebut
selalu muncul ke permukaan. Dengan demikian, hukum Islam itu harus dapat
memberikan pemecahan terhadap problema-problema baru yang dihadapi masyarakat
Kedua,meletusnya
milliu Islam dan Orang Islam.Ketiga, indepensi para Yuris hukum Islam dari
kekuasaan politik. Kemandirian ini menyebababkan mereka mampu mengembangkan pemikiran
hukumnya tanpa mendapat rintangan , selaras dengan pemahaman masing-masing.
Keempat,flesibeitas hukum Islam itu sendiri yang mempunyai kemampuan untuk
berkembang mengatasi ruang dan waktu.
Berkaitan dengan hal itu, Habsy
Ash-Shiddiqie menunjuk tiga watak dasar hukum Islam yaitu, takamul, wasatiyah
dan harakah, yang menyatakan bahwa adanya tiga watak dasar inilah menjadikan
hukum Islam tidak pernah usang dan senantiasa berkembang secara dinamis.
Sementara Muhammad Amin, dalam upaya
mengkongklusikan dua teori diatas, menyatakan bahwa jika ditarik dari asal
sumbernya yakni syariah, maka keabadiannya dimungkinkan antara lain karena
ajaran-ajarannya yang terkandung dalam Penjualan Alat Listrik-Qur’an maupun
Penjualan Alat Listrik-Hadits, disamping ada yang bersifat qat’I (definite),
juga ada yang bersifat dzanni (interpretable). Bahkan yang dzanni jauh lebih
banyak jumlahnya daripada yang qat’I. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa
ajaran-ajaran Islam yang bersifat qat’I menjadikan identitas agama Islam dapat terjamin sepanjang
masa, sedangakan dinamikanya terletak pada hal-hal yang bersifat dzanni.Disinilah
letaknya pengertian ungkapan.:
الشريعة الا سلا مية صالحة
لكل زمان ومكان
Jika yang dimaksud ungkapan itu dibawa
ke dalam ruang lingkup yang lebih sempit dalam hal aspek hukum, maka hukum
Islam akan selalu up to date, karena memiliki daya elastis. Elastisitas hukum
Islam dapat dilihat antara lain, dari sedikitnya jumlah ayat-ayat hukum baik
dalam AL-Qur’an maupun Hadits. Itupun pada umumnya hanya memuat norma-norma
dasar yang bersifat esensi dan global . Konsekuensi selanjutnya bahwa hukum
Islam memberiakan ruang gerak yang memadai bagi kemungkinan terjadi perubahan
hukum dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat secara terus menerus.
Kongklusi senada juga diberikan oleh Nurcholis
Madjid, yang mengakui dalam dimensi ajaran Islam bersifat serba meliputi
(Asy-Syari’ah al-Jami’ah), masih dapat dikenali adanya dua hal yang berbeda :
hal-hal parametris keagamaan yang tidak berubah-ubah sebagai benteng
universalitas,Dan hal-hal yang dinamis yang berubah menurut perubahan zaman dan
tempat.Hal ini sesuai dengan kaidah :
تغير الفتوي واختلافها بحسب تغير الازمنة والامكنة
Kedua hal tersebut diatas, seraya
mengutip pendapat Sayyid al-Sabiq, yang dijelaskan sebagai berikut :
Adapun
hal-hal yang tidak berubah karena perubahan zaman dan tempat, seperti
slmpul-simpul kepercayaan (al-aqa’id) dan peribadatan (al-ibadat), maka
diberikan secara terinci (mufasal) dengan rincian serba meliputi. Karena
seorangpun dibenarkan menambah dan mengurangi. Sedangkan hal-hal yang berubah
karena perubahan zaman dan tempat, seperti berbagai kemaslahatan sipil
(al-masalih al-madaniyyah) serta berbagai perkara politik dan perang, maka
diberikan secara garis besar (mujmal) agar bersesuain dengan kemaslahatan
manusia disetiap masa.
B.
HIKMAH DAN MASALAH SEBAGAI METODE ISTIMBAT HUKUM
Dimensi hikmah dan maslahah menyediakan ruang bagi yang dimungkinkannya
perubahan dan adaptasi hukum Islam . Konsep ini dapat dijadikan suatu metode
pendekatan dalam elastisitas hukum Islam, yang Mengacu
pada prinsip maqasid al-syari’ah. yang menganggap bahwa hukum Islam bertujuan
untuk mewujudkan masalih manusia, sehingga secara logis, ia harus menyambut
setiap perubahan sosial yang berorientasi pada tujuan itu. Lebih jauh lagi,
dengan pendapat yang obyektif semacam ini, hukum Islam tidak kaku dan lamban
dalam menghadapi dan mensikapi perubahan sosial.Hal tersebut terbukti dalam
kasus-kasus hukum, contohnya dalam hukum pidana Islam. Kasus potong tangan bagi
pencuri baik laki-laki ataupun perempuan dalam surat al-Maidah : 38 intinya
dalah sebagai hukuman terhadap tindakan yang ia lakukan. Namun Umar bin Khattab
pernah tidak melakukan hukuman tersebut sewaktu masyarakat Islam sedang
mengalami musibah kekurangan makanan dan bahaya kelaparan.
Dalam kondisi seperti ini menurut Ibnu
Qayyim, Umar bin Khattab telah mengadakan perubahan hukum.Dari ulasan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa Umar bin Khattab menggugurkan hukuman kasus
pencurian karena beberapa pertimbangan. Ia menafsirkan dan tidak tidak
selamanya melaksakan hukuman potong tangan dalam surat al-Maidah : 38 tersebut,
karena dipahami sebagai pengecuaian (takshis) seperti yang pernah dipraktekkan
oleh Rasulullah , yaitu tentang penagguhan potong tangan yang dilaksanakan
dalam peperangan. Dengan
demikian,kelonggaran dilakukan dalam kondisi keterpaksaan (darurat) berkaitan
erat dengan usaha mewujudkan kemaslahatan yang menjadi tujuan utama hukum
Islam.
Dalam hukum perdata Islam pada
zaman Rasulullah sampai masa khalifah Abu Bakar misalnya, pembagian zakat pada
mukallaf tetap diberikan. Pemberian zakat tersebut, terkandung maksud dan
tujuan syara’ yaitu untuk memikat hati mereka kepada Islam serta mencegah
perbuatan-perbuatan negatif mereka terhadap ummat Islam. Tetapi pada masa Umar
bin Khattab, hikmah itu telah dihapus, alasannya ia melihat ‘illat tujuan hukum
dalam bagian zakat untuk para mukallaf itu sudah tidak relevan lagi, karena
pada masa dia Islam telah kuat dan dalam kejayaan. Karenanya bagian tersebut
sudah tidak diberikan lagi kepada mereka. Dengan demikian, kepentingan atau
kemaslahatan umum merupakan tujuan syariatlah yang harus dipertahankan, yang
dalam hal ini adalah demi kekuatan negara Islam. Karena dengan adanya kekuatan
engara Islam dapat mengayomi hak-hak mereka yang merupakan tuntunan masyarakat
pada umumnya.
Begitu pula tindakan Umar bin
Khattab dalam soal rampasan perang, suatu tanah pertanian yang etrletak di
negri Syam, Irak, Persia dan Mesir. Dia tidak membagi sebagaiman biaasanya,
yaitu empat perlima bagi mereka yang berperang dan seperlima untuk kemaslahatan
umum (hak Allah). Alasanya sebab jika diberikan dengan cara demikian, bagaimana
nasib orang-orang mu’min yang akan datang, sedang mereka tidak punya tanah lagi
sebagai sumber mata pencaharian mereka, maka beliau melakukan tindakan lain
demi kepentingan umum kaum muslimin. Tindakan yang dilakukannya dengan membiarkan
tanah tanah tersebut untuk dikelola oleh pendudk pemilik tanah dan hasilnya
digunakan membayar gaji (upah) pegawai serta tentara yang bertugas, disamping
untuk keperluan kemaslahatan manusia.
Namun dalam konsep ini bukannya
tanpa kelemahan. Kelemahan yang sering dijadikan sebagai sasaran kritik para
penolak konsep ini, bahwa
dalam konsep ini sangat terbuka peluang masuknya pertimbangan individu dalam
hukum Islam, sehingga pada gilirannya kemurnian dan logo
sponsor hukum Islam sebagai produk yang
membedakan dari sruktur hukum lain menjdi kabur
dan tidak dapat di pertahankan. Transparansi antara subyektivitas individu
dengan norma ajaran hukum menjadi sangat erat. Jika hikmah dan masalah dijadikan
sebagai dasar pertimbangan hukum, maka membawa dan menggiring pada suatu
presepsi hukuIslam adalah hukum produk manusia. Jadi akan terjebak dalam
kekacauan dan kesesatan.
Untuk mengantisipasi terjadinya
kemungkinan seperti itu,menurut Ibnu Taymiyyah pertimbangan rasio ansich sama
sekali tidak diperbolehkan dalam penetuan hikmah dan maslahah. Pertimbangan
rasio hanya dimungkinkan jika ia dikorelasikan dan sejalan dengan ideal moral
syara’. Namun untuk dapat melaksanakan pola seperti ini buakanlah upaya yang
mudah. Salah satu mesti diperlukan ialah kemampuan untuk menangkap “pesan
zaman”, artinya hukum itu diinterpresitasikan sesuia dengan perkembangan zaman
yang ada, sehingga suatu hukum dapat diterapkan secara efktif karena sesuai dengan pesan zaman itu.Ini
berarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atau abstraksi dari
hukum-hukum yang ada menjadi prinsipinsip umum yang berlaku untuk setiap zaman
dan tempat. Berlakunya suatu prisip untuk segala zaman dan tempat berarti
keniscayaan memberi peluang pada prinsip itu untuk dilaksanakan secara teknis
dan kongkrit menurut tuntutan ruang dan waktu. Karena ruang dan waktu berubah,
maka tuntunan menspesifikannyapun tentu berubah, dan ini membawa perubahan
hukum. Namun yang berubah bukan prinsipnya tapi pelaksanaan teknis dan kongkrit
hokum itu dalam masyarakat tertentu dan
masa tertentu.Untuk dapat memuat generalisasi dan abstraksi tersebut, diperlukan suatu metodologi.
Dalam hal
ini ada lima macam kaidah yang ditawarkan :
لامور
بمقا صدها 1
الضرر يزال 2
العادة محكمة 3
اليقين
لا يزال با لشك 4
المشقة تجلب التيسر 5
Metodologi tersebut, sesungguhnya
memberikan dorongan yang cukup kuat untuk mendekati suatu ketentuan tekstual
tidak secara harfiah, melainkan dengan penarikan ide prinsip atau fikrah
mabda’iyyah atau fikrah ushuliyyah yang dikandungnya dan menjadi inti hikmah
tasri’, yakni terealisasikannya aspek masalih dalam kehidupan masyarakat.
C. KESIMPULAN
Wacana hukum Islam sebagai hukum
yang sempurna telah memunculkan dua teori yang bertolak belakang, yaitu teori
eternalitas dan teori adaptasilitas atau elastisitas. Namun pada prinsipnya
hukum Islam merupakan hukum yang berdasarkan wahyu Allah dan hadits bertujuan mewujudkan
kemaslahatan manusia. Tujuan itu diterapkan untuk mengendalikan masyarakat
dengan terjaminnya hak-hak individu maupun masyarakat secara umum. Oleh karena
itu untuk tercapainya hal tersebut diatas, perlu adanya perlindungan terhadap
sesuatu yang asasi, yaitu perlindungan agama,jiwa,akal, keturunan dan harta
yang lebih dikenal dengan maqasid al-syari’ah.
Walaupun hukum Islam didasarkan
pada wahyu tetapi mtidak menutup kemungkinan diperlukan adanya interpretasi
atau kontekstualisasi dari ketentuan nash yang ada, dengan demikian ijtihad
sebagai keniscayaan. Dengan ketentuan semacam itu hukum Islam selalu up to date
sesuai dengan perkembagan zaman.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul
Mudjib, al-Qawaid al-Fiqhiyah (Kaidah-kaidah
Ilmu Fiqh),Cet.4 Yogyakarta : Nur Cahaya, 1984
Fathurahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Muhammad
Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah daam Bidang
Ilmu Fiqh Islam, Jakarta : INIS,1991.
Muhammad
Khalid Mas’ud, Hukum Islam dan Perubahan
Sosial, alih bahasa Yudian W.Asmin, Cet.I, Surabaya ; al-Ikhlas,1995.