APAKAH SISTEM EKONOMI ISLAM DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN SECARA ILMIAH ?
by Unknown
Apakah
Sistem Ekonomi Islam Dapat Dipertanggungjawabkan Secara Ilmiah ?
A.
Pendahuluan
Segala sesuatu
yang diberi label “Islam” biasanya selalu diidentikan dengan sesuatu yang bersifat
subyektif dan tidak ilmiah. Oleh sebab itu, dalam Sistem Ekonomi Islam perlu
adanya pembahasan secara mendalam terhadap ranah ilmiah, khususnya “kebenaran”
itu sendiri yang mampu dicapai oleh Islam.
B.
Apakah “Benar” itu ?
Segala
proses yang dilakukan manusia sangat ditentukan oleh pengetahuan manusia itu
sendiri terhadap definisi “benar”. Benar menurut manusia ialah suatu pernyataan
yang sama dengan kenyataan. Contohnya; jika ada orang yang mengatakan
bahwa “gunung itu ada”, pernyataan itu dikatakan “benar” apabila pada kenyataan
gunung itu benar-benar ada, dan pernyataan itu dapat dikatakan “salah” apabila
gunung itu ternyata tidak ada. Namun, sebagai makhluk yang serba ingin
tahu, perlu adanya tingkatan-tingkatan pengetahuan yang dapat dicapai oleh
manusia.
C.
Pengetahuan Tingkat I
Pengetahuan ini
dapat disebut juga pengetahuan langsung dengan ciri utama ialah
keinginan dari manusia untuk mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan
obyek-obyek yang dapat terindera secara langsung. Selain itu, untuk
memperoleh pengetahuan ini, manusia harus memiliki 4 syarat dasar (An-Nabhani,
1973) yang menjadikannya sebagai manusia yang sudah mampu berfikir, yaitu :
1.
Harus ada fakta yang
terindera
Manusia dapat dikatakan telah mampu
berfikir untuk memperoleh pengetahuan tingkat I, apabila dia pernah mengindera
fakta atau obyek yang akan difikirkannya.
2.
Harus ada indera-indera
3.
Harus ada otak
4.
Harus ada maklumat
(informasi) sebelumnya
Cara kerja dari keempat
proses tersebut (proses befikir) ialah dari obyek (benda tertentu) yang
ditangkap oleh indera, kemudian direfleksikan ke otak, bertemu dengan memori
otak (maklumat sebelumnya yang telah disimpan), sehingga menghasilkan
pemahaman. Selanjutnya, nilai kebenaran yang dihasilkan dari proses ini ialah
“pasti benar”.
D.
Pengetahuan Tingkat II
Dalam
pengetahuan, terdapat obyek-obyek yang tidak dapat terindera secara langsung
(obyek ghaib), yaitu :
1.
Sesuatu yang tersembunyi
2.
Suatu kejadian di masa
lampau
3.
Sesuatu kejadian di masa
yang akan datang
Syarat untuk
mencapai pengetahuan tingkat II ini , yaitu : Harus ada dalil yang terindera
langsung. Dalil artinya penunjuk. Selanjutnya, nilai kebenaran pada hal ini ada
3 kemungkinan, yaitu :
1.
Pasti benar (wajib aqli)
2.
Mungkin benar (jaiz aqli)
3.
Pasti salah (mustahil aqli)
Untuk memperoleh
kebenaran yang pasti dalam masalah yang ghaib, dapat ditempuh dengan
menggunakan metode aqliyah. Selanjutnya, dalam metode aqliyah terdapat metode
ilmiah yang merupakan upaya lanjutan sebagai penelitian untuk mengkaji
syarat dari tingkat ini, yaitu dalil. Dalam metode ilmiah ini pun terdapat
tambahan tahapan berupa pengujian ilmiah.
E.
Pengetahuan Tingkat III
Dalam tingkat
ini, pengetahuan yang ingin diperoleh manusia adalah pengetahuan tentang pemanfaatan
ilmu-ilmu murni yang telah mereka dapatkan dari pengetahuan tingkat II. Cara
kerjanya yaitu dengan melakukan proses rekayasa (engineering) terhadap
temuan-temuan murni yang berasal dari pengetahuan tingkat II. Hal ini bertujuan
agar manusia bisa mendapatkan produk-produk yang memiliki nilai guna
yang lebih tinggi bagi manusia (Triono, 2010). Selanjutnya, ilmu pengetahuan
yang diperoleh dalam tingkatan ini digolongkan sebagai kelompok ilmu-ilmu
terapan (applied sciences).
F.
Pengetahuan Tingkat IV
Dalam tingkatan
ini, pengetahuan yang diinginkan adalah pengetahuan tentang hakikat dibalik
fenomena yang ada dari seluruh alam semesta ini. Jika dikerucutkan,
pertanyaan yang paling mendasar ialah akan ada atau tidaknya Pencipta dari
yang ada. Kemudian, metode yang digunakan pada tingkatan ini tetap sama, yaitu
metode ilmiah. Namun, jawaban yang didapatkan ialah hanya materi yang bersifat
kekal dan azali (Hukum Kekekalan Materi dan Energi), sedangkan Tuhan itu tidak
ada. Berbagai pengujian ilmiah yang dilakukuan oleh para ilmuwan untuk menjawab
“kebenaran” dari teori yang ada tetap merujuk pada satu kesimpulan, yaitu
hilangnya posisi dan peran agama dalam semua kancah ilmu pengetahuan, karena
dogma-dogma agama tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.
G.
Metode Ilmiah Versus Metode
Aqliyah
Diketahui
sebelumnya bahwa metode ilmiah merupakan bagian dari metode aqliyah. Metode
ilmiah memiliki kelebihan dalam hal kepentingan riset atau penelitian yang
obyek-obyeknya bisa diuji dalam skala laboratorium. Namun, tidak (sangat lemah)
untuk obyek-obyek yang tidak bisa diuji dalam laboratorium. Oleh karena itu,
berbagai “kebenaran” yang ada dapat ditumbangkan dengan metode aqliyah.
Selanjutnya, untuk mencari “kebenaran” yang nilainya pasti benar dengan metode
aqliyah dapat menggunakan 3 dalil, yaitu manusia, alam semesta dan kehidupan
itu sendiri (An-Nabhani, 1953), yang kesemuanya bersifat “pasti terbatas”, yang
maksudnya ialah hal tersebut tidak akan pernah kekal, kehendaknya tidak mutlak
dan tidak bisa berdiri sendiri dalam berbagai hal.
Jadi, kesimpulan
yang “pasti benar” dari proses metode aqliyah ini ialah mustahil bersifat
azali, dan manusia, alam semesta serta kehidupan ini pasti ada Penciptanya.
H.
Pengetahuan Tingkat V
Dalam tingkatan
ini, pengetahuan yang ingin dicapai ialah hakikat tujuan Pencipta
menciptakan kehidupan ini. Untuk mengetahui jawabannya, maka ada 3 kemungkinan
yang dapat difikirkan manusia, yaitu :
1.
Manusia harus menemui
Pencipta untuk mempertanyakannya
2.
Pencipta yang akan memberi
informasi kepada manusia
3.
Pencipta tidak memberikan
informasi kepada manusia
Kemudian, dengan
fakta yang ada, Kitab Suci (khususnya al-Qur’an) dapat digunakan sebagai dalil
yang diteliti dalam metode aqliyah. Kesimpulan yang didapat dengan nilai yang
“pasti benar” ialah bahwa al-Qur’an itu kitab yang pasti berbahasa Arab.
Menurut akal manusia, ada 3 kemungkinan terhadap fakta al-Qur’an tersebut,
yaitu :
1.
Al-Qur’an itu kitab
karangan Bangsa Arab
Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada
hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan
ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.
(QS. Al-Baqarah : 23)
Ayat ini
merupakan tantangan bagi mereka yang meragukan tentang kebenaran Al Quran itu
tidak dapat ditiru walaupun dengan mengerahkan semua ahli sastera dan bahasa.
Jadi, al-Qur’an bukanlah karangan bangsa Arab, karena mereka tidak akan pernah
mampu untuk membuat karya serupa dengan al-Qur’an.
2.
Al-Qur’an itu kitab
karangan Muhammad
Hal ini langsung dibantah oleh akal
manusia sendiri dengan menilik beberapa argumen, yaitu :
a.
Muhammad juga anggota
bangsa Arab
b.
Banyak hadis shahih yang
berasal dari Muhammad sendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan al-Qur’an
c.
Muhammad adalah seseorang
yang ummi
3.
Al-Qur’an itu kitab yang berasal
dari Pencipta
Hal ini merupakan jawaban yang “pasti
benar”. Selanjutnya, jika mempertanyakan tujuan dari Pencipta (Allah
SWT) menciptakan alam semesta, manusia dan kehidupan ini dapat dilihat dari
informasi yang terdapat di dalam al-Qur’an itu sendiri. Tujuan utama dari
penciptaan manusia ini ialah untuk menjadi abdullah (penyembah Allah)
dan khalifatullah (wakil Allah) di muka bumi ini.
Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku. (QS. Adz-Dzariyat : 56)
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. Al-Baqarah : 30)
Terdapat
3 dimensi Syari’at Islam yang menjabarkan keterikatan manusia dengan
Syari’at Islam itu sendiri.
1. Dimensi
Satu
Dalam
hal ini Syari’at Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Penciptanya
secara langsung. Seperti : ‘Aqoid dan Ibadah
2. Dimensi
Dua
Dalam
hal ini Syari’at Islam mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Seperti
: Makanan dan Akhlak
3. Dimensi
Tiga
Dalam
hal ini mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam bermasyarakat dan
bernegara. Seperti : Sistem Ekonomi Islam
Selanjutnya,
gambaran sistem kehidupan yang utuh dan menyeluruh dari Islam (Nidzom Islam)
inilah pengetahuan tingkat V yang sebenarnya. Bukan hanya itu, jawaban atas
pertanyaan dasar dari segala materi ini pun telah terjawab, yaitu bahwa Sistem
Ekonomi Islam dapat dipertanggungjawabkan secara metode aqliyah dimana metode
ilmiah tidak mampu menjawabnya.
I.
Pengetahuan
Tingkat VI
Pengetahuan tingkatan ini akan muncul ketika
manusia benar-benar telah menerapkan dan mengamalkan Nidzom Islam di tingkatan
V. Dalam tingkatan ini, pengetahuan yang ingin dicapai ialah
produk-produk ijtiad dari para mujtahid untuk memecahkan berbagai persoalan
kehidupan manusia yang baru, yang senantiasa berkembang sedemikian dinamis dan
kompleksnya seperti sekarang ini (Triono, 2010).
Kesimpulan
Ketika berbicara
tentang agama, pasti akan merambah ke pengetahuan ilmiah. Kenapa tidak ?.
Karena agama di doktrin hanya dimiliki oleh sekelompok manusia yang yakin dan
percaya akan “kebenaran” yang abstrak. Contohkan saja dengan Sistem Ekonomi
Islam. Seperti yang dikatakan bahwa segala sesuatu yang berlabelkan Islam
(agama kaum Muslim) bersifat subyektif dan tidak ilmiah. Padahal, bagi yang
percaya, bahwa segala pengetahuan yang ada di muka bumi ini berasal dari Kitab Suci
Agama (al-Qur’an), sehingga bagaimana mungkin sesuatu yang bersumber dari agama
dapat di nilai oleh pengetahuan yang merupakan hasil dari agama itu sendiri dan
skalanya lebih kecil.
Dalam membuktikan suatu
“kebenaran” tidak hanya dapat menggunakan metode ilmiah, namun juga metode
aqliyah. Hal ini dikarenakan akan tingkat hasrat atau keingintahuan manusia
akan obyek-obyek tertentu, yang bahkan obyek yang tak terjamah oleh indera.
Selain itu, kompleks nya permasalahan yang timbul dalam kehidupan ini juga
dapat memicu pertumbuhan metode yang lain.
Soal :
1.
Mampukah
kebenaran pengetahuan ilmiah menjawab seluruh persoalan hidup manusia ?
Ø Tidak
mampu. Karena pengetahuan ilmiah sendiri lahir dari metode penelitian dengan
istilah metode ilmiah yang berupa pengujian ilmiah. Pengujian
ilmiah adalah sebuah proses uji coba terhadap suatu obyek tertentu yang
masih alami untuk diuji skala laboratorium, dengan cara melakukan penelitian
(komparasi) dengan menggunakan standar obyek tertentu yang lain yang masih murni
(hal 127). Selanjutnya, dalam kehidupan manusia, terdapat berbagai obyek,
bahkan terdapat obyek yang tidak dapat dijangkau secara langsung oleh indera
manusia. Obyek tersebut (secara realnya) tidak dapat diteliti oleh skala
laboratorium yang ada, sehingga perlu adanya pengetahuan lain, dengan metode
lain tentunya, untuk menjawab persoalan hidup manusia yang tidak dapat terjamah
oleh pengetahuan ilmiah.
2.
Peranan
pengetahuan agama dalam kehidupan manusia !
Ø Agama
adalah suatu istilah bagi komunitas yang yakin akan keberadaan Tuhan. Agama
hanya akan sebagai suatu “istilah” jika
di dalamnya tidak terdapat pengetahuan yang berarti. Dalam dunia ilmiah,
agama atau segala sesuatu yang berasal dari Tuhan dianggap sebagai “doktrin”
yang dapat menyebabkan penganutnya akan menjadi manusia yang “fatalis”. Namun
tanpa disadari, pengetahuan agama dalam kehidupan manusia memiliki peranan yang
penting. Pengetahuan agama bisa menimbulkan rasa agama. Menurut W.H. Clark,
bahwa rasa agama ialah kristal-kristal nilai agama yang ada dalam diri manusia,
yang bisa timbul dari beberapa faktor. Bagi mereka yang memahami rasa agama
dengan baik, maka pengetahuan agama itu sangat penting. Ketika rasa agama telah
melebur dalam kehidupan, segala sesuatu dapat dengan mudah dijamah oleh manusia.
Jika dikerucutkan, bahwa pengetahuan ilmiah yang ada itu berasal dari
pengetahuan agama (Kitab Suci) yang dipahami oleh manusia. Banyak yang merasa,
bahwa pengetahuan ilmiah itu harus dapat diindera, sedangkan pengetahuan agama
itu sendiri yang bersifat abstrak bukanlah pengetahuan ilmiah. Dengan kata
lain, agama bertentangan dengan science. Namun sebenarnya, “kebenaran” yang
diungkapkan oleh pengetahuan agama yang berkaitan dengan Pencipta dan
penciptaan dalam kehidupan ini bersifat mutlak, dimana tidak semuanya dapat
diungkapkan oleh manusia dan ciptaannya. Karena akal manusia yang didoktrin
sebagai sumber dari pengetahuan ilmiah mereka, memiliki batasan-batasan yang
mereka sendiri tak mampu untuk memikirkannya.