POLITIK MERUPAKAN SEBAGIAN DARI WUJUD IBADAH
by Unknown
Pada
beberapa hari ini kita telah menyaksikan bahkan mengikuti pelaksanaan pesta
demokrasi yang dimulai dengan masa kampanye bagi semua partai politik yang ada.
Masa-masa ini memberikan kesan yang beragam bagi masyarakat. Secara keseluruhan
masyarakat pada masa pemilu saat ini banyak pengamat dan tokoh berpendapat
kurang antusias mengikuti masa-masa kampanye.
Ada beberapa Alasan yang melatar
belakangi keadaan tersebut diantaranya masyarakat menganggap pergantian
kepemimipinan di negeri ini dengan segala obral janji oleh semua kontestan
pemilu tidaklah akan merubah nasib hidup mereka. Yang lebih parah sebagian
beranggapan bahwa dunia politik tidak akan bersifat bersih.
Secara umum pandangan sebagian
masyarakat seperti pendapat yang terakhir di atas memiliki sedikit kebenaran. Di
abad pertengahan, Eropa gencar menyerukan apa yang biasa disebut sebagai aufklarung (masa pencerahan). Masa
dimana ilmu-ilmu sosial hendak dirasionalisir seluas-luasnya, diceraikan dari
segala yang berbau normatif dengan slogan yang terkenal 'netralitas etik'.
Maksudnya, dunia ilmu tidak boleh berhubungan dengan yang etis-etis, yang
terkait dengan moral ataupun agama.
Situasi kejiwaan dalam dunia
epistemologi keilmuan tersebut tentu saja merembet pada iklim realitas
kehidupan sehari-hari. Praktek politik di dunia nyata, akhirnya lepas juga dari
nilai-nilai. Oleh karena itu, nyaris dimaklumi bahwa politik selalu dicitrakan
sebagai dunia kotor, terselubung, hipokrit, dan pragmatis. Citra ini begitu
kuat tertanam, sampai-sampai kalau terjadi sejumlah ketidakberesan para pelaku
politik, publik pun akhirnya terpaksa memaklumi. "Yaaa, begitulah politik",
begitu jawaban yang sering terjadi di warung-warung kopi. Sebuah nada
keputusasaan, sekaligus permakluman yang nampak amat terpaksa .
Sebenarnya, segenap potret
perilaku elit politik, massa
parpol yang cenderung tak ramah, munculnya berbagai aksi kekisruhan belakangan
ini; semua itu bermula dari persepsi yang telanjur keliru dalam memaknai
aktivitas politik. Filosofi dasar berpolitik cenderung mengarah pada upaya
mencari dan melanggengkan kekuasaan semata. Sementara, moralitas politik
sebagai pijakan yang lebih sehat dan bermutu, sekaligus fungsional, tidak
begitu diperhitungkan. Yang muncul akhirnya pragmatisme berpolitik. Dimana
tolok ukur semua dinamika kehidupan politik hanyalah seberapa besar sesuatu
bermanfaat bagi diri dan kelompoknya. Kebenaran dalam pandangan pragmatisme
adalah sesuatu yang menguntungkan. Sebaliknya, bila merugikan, bukanlah
kebenaran, karena itu harus dijauhi dan tak layak dibela. Inilah yang akhirnya
populer di kalangan politisi dengan ungkapan, "tak ada lawan dan kawan abadi
dalam politik".
Kalaupun harus terpaksa
memunculkan nilai-nilai moral, hal itu mesti sebanding dengan konsesi politik
yang diajukan. Kalau konsesi-konsesi itu bisa dipenuhi, maka dipakailah unsur
moral tersebut. Jadi, begitulah kenapa partai-partai begitu nampak bermoral
menjelang Pemilu. Membantu rakyat kecil, melayani kepentingan umum dan
sebagainya. Ada
konsesi politik yang diminta untuk kepentingan internal partai. Namun, begitu
pemilu usai, berakhir pulalah program-program moral tadi. Ya, itulah politik.
Solusi yang terbaik ialah upaya
perwujudan kehidupan politik yang tetap santun memikirkan nilai-nilai moral dan
agama. Seorang ulama abad ketujuh Hijriah Syaikul Islam Imam Ibnu Taimiyah
dalam bukunya Siyasah syar’iyah Fi Ishlahir Ra’ war raiyyah pernah
mengungkapkan betapa pentingnya mengedepankan moralitas Ilahiyah. Moralitas
ilahiyah ini mengharuskan seseorang mendasarkan seluruh perilaku politiknya
dalam koridor yang dibenarkan Allah swt. Sehingga, aktivitas politik hanyalah
refleksi saja dari proses penghambaan kepada Tuhan. Berpolitik adalah ibadah
dalam wujud yang lain.
Sebab berpolitik juga merupakan
aktivitas penjagaan pesan amanah dalam mengemban kepercayaan rakyat. Allah
berfirman dalam surat an-Nisa’ : 58
Artinya : “Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan menyuruh
kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Imam Ibn Taimiyah mengungkapkan
arti amanah pada ayat di atas memiliki dua konotasi,pertama amanat adalah
kepentingan-kepentingan masyarakat yang merupakan tanggung jawab pemimpin untuk
mengelolanya, supaya pengelolaannya baik dan benar maka pilihlah pemimpin yang
betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan. Kedua, amanat adalah
mengenai pengelolaan kekayaan negara, kota
atau desa dan perlindungan harta benda milik para warga negara.
Ingat pula Firman Allah Secara
keseluruhan memang Allah telah memberikan bentuk kepercayaan kepada manusia
dengan kesediaan dirinya mengemban amanah mengatur dunia. FirmanNya dalam surat al-Ahzab 72:
Artinya : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia, Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.”
Moral ilahiyah langsung mengakar
dalam hati setiap manusia. Para pelaku
politik, pada akhirnya tidak saja bertanggung jawab pada parpolnya
masing-masing, tetapi juga bertanggung jawab kepada hati nuraninya sendiri.
Hati nurani adalah konsultan yang paling jujur dalam menjawab seluruh
problematika yang ada.
Kalau politisi memiliki kejiwaan
seperti ini, niscaya kehidupan politik negeri ini akan relatif lebih baik.
Inilah keshalihan politik itu. Andai ini semua terwujud dalam kehidupan politik
negeri ini, niscaya obrolan warung kopi akan berubah. "Ternyata, politik
itu bisa juga bersih, kok!"