MENGEMAS PROGRAM PENTAS WAYANG SEBAGAI REPRESENTASI NILAI – NILAI BUDAYA LOKAL DI JOGJA TV
by Unknown
BAB I
A.
Pendahuluan
a.
Latar
Belakang Masalah
Perkembangan TV lokal dewasa ini semakin
marak di indonesia, di DIY sendiri terdapat beberapa stasiun TV lokal,
diantaranya Jogja TV, RBTV, Tugu TV, dsb. Persoalannya sekarang adalah seberapa
besar kebutuhan masyarakat lokal, dan apa saja yang dibutuhkannya dari TV lokal
itu sendiri ? apakah benar bahwa Tv lokal itu sudah dibutuhkan, apakah sudah
melalui berbagai penelitian ? ataukah hanya sebagai sarana penunjang saja bagi
masyarakat lokal sebagai bukti bahwa masyarakat di suatu daerah memiliki
kemajuan tekhnologi. Akan tetapi kesan yang muncul adalah “ujug-ujug” muncul TV
lokal begitu saja. Ini dqapat terlihat dari hampir setiap daerah memiliki TV
lokal sendiri-sendiri. Misalnya Bali TV di Bali, Pro TV di Semarang, Bandung TV
di Bandung, dst.
Secara obyektif, harus dikatakan
bahwa local content pada TV Lokal masih
menjadi persoalan dasar dan verbal. Apa yang dominan muncul di TV Lokal tidak
bisa dibedakan dari segi konsep, teknis, maupun filosofis dengan TV yang sudah
ada selama ini (ex. TVRI dan TV Swasta). Jika ada harapan TV Lokal menjadi
sebuah wahana aspirasi bagi masyarakatnya hingga mampu mendorong proses
demokratisasi masyarakat, maka semuanya masih perlu dicermati secara teliti. TV
Lokal mempunyai kecenderungan yang tidak jauh berbeda dengan TV Swasta lainnya,
yakni memposisikan masyarakat penonton sebagai objek. Hal ini persis dengan
karakter media televisi yang berkecenderungan mengeksploitasi dan bukannya
mengeksplorasi masyarakat.
Oleh sebab itu, persepsi dan perspektif
TV Lokal mesti harus berbeda dengan TV Swasta yang sudah ada dimana TV Swasta ini
bertaraf nasional. Strategi ini akan berguna untuk terus mencari peluang,
selain itu juga dapat mengembangkan kiat – kiat untuk mengatasi kendala dan
keterbatasannya. Bahkan TV Lokal harus berani untuk melakukan perbedaan dengan
TV Nasional. Selain itu juga harus menjadi kepentingan bagi masyarakat lokal.
Jika tidak, masyarakat akan merasa tidak memerlukan TV Lokal sebagai wadah
aspirasi untuk daerahnya sendiri. Keberanian ini sangat berbeda dengan TV Swasta
jakarta bukan saja dari sisi isi, melainkan juga dari sisi manajemen dan
marketing. Namun, jika tidak ada keberanian dan kratifitas dalam persoala ini
dan menmanajemen ini, maka TV Lokal bisa kita tunggu kapan hilangnya.
Jasa penyiaran TV Lokal sangat perlu
difungsikam untuk mengukur suatu upaya untunk pengembangan budaya lokal.
Caranya tentu saja melalui pelaksanaan fungsi – fungsi kemasyarakatan media
massa, yakni fungsi informasi, fungsi educasi, fungsi hibvuran, fungsi kritik,
dan kontrol sosial. Manfaat dari ini adalah penyiaran TV Lokal memiliki program
siaran yang khas dari daerahnya masing – masing (local content). Dengan demikaian diharapkan terwujudnya
pengembangan nilai – nilai budaya lokal (local
wisdom).
Prinsip
desentralisasi juga berlaku bagi media penyiaran televisi. Spirit otonomi
daerah yang bermartabat membutuhkan media penyiaran televisi lokal. Media penyiaran
televisi lokal adalah cermin bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Media
Penyiaran televisi lokal adalah pentas hidup dan permanen bagi tumbuh dan
berkembangnya budaya lokal sebagai asset nasional. Undang-Undang No. 32 Tahun
2002 Tentang Penyiaran juga menjadi payung hukum bagi keberadaan televisi
lokal, sebagai paradigma baru dan menunjang proses demokratisasi penyiaran.
Kehadiran televisi lokal akan menambah variasi atau pilihan bagi
masyarakat untuk mendapatkan informasi, hiburan, dan pendidikan. Televisi lokal
bisa menjadi mimbar perdebatan masyarakat lokal mengenai isu-isu atau
persoalan-persoalan lokal yang sedang dihadapi. Selain itu, keberadaan televisi
lokal dapat menjadi sarana pengembangan potensi daerah, sehingga daerah pada gilirannya
menjadi lebih maju dan sejahtera melalui pengembangan perekonomian rakyat. Dari
perspektif Otonomi Daerah, kehadiran televisi lokal dapat mengurangi
sentralisme informasi dan bisnis. Hal ini sesuai dengan amanat UU No. 32/ 2002
tentang Penyiaran yang merevisi UU Penyiaran terdahulu (UU No. 24/1997) yang
kental sekali dengan kekuasaan. Seperti diungkapkan oleh Paulus Widianto,
mantan Ketua Pansus DPR-RI yang membahas RUU Penyiaran, Pemerintah Orba waktu
itu ingin memanfaatkan stasiun televisi sebagai tunggangan. Dengan demikian,
hanya mengakui kalau stasiun televisi berdiri di ibu kota negara, Jakarta.
Akibatnya, suara dari daerah tidak mendapat tempat atau diberi tempat tetapi
sangat kecil sekali. Lewat televisi lokal dan televisi berjaringan, pemirsa
tidak hanya dijejali informasi, budaya, dan gaya hidup ala Jakarta dan ala
Barat. Pemirsa akan lebih banyak menyaksikan berbagai peristiwa dan dinamika di
daerah dan lingkungannya.
Dalam konteks sosial budaya, televisi lokal bisa menjadi harapan dan ‘benteng
terakhir’ ketahanan bangsa (Bali Post, 27/7/2006). Selama ini kita merasakan
serbuan kapitalisme global dan budaya luar begitu kuat menyeruak-masuk lewat
televisi nasional yang bekerja sama dengan televisi asing. Televisi ini
mempunyai ‘dosa besar’ dalam mengikis kebudayaan lokal, melalui gempuran acara
yang membawa nilai-nilai yang tidak sesuai nilai-nilai yang dianut selama ini.
Gempuran acara televisi nasional yang negatif ini harus disikapi. Pada
posisi ini, televisi lokal punya peluang membawa nilai-nilai luhur budaya
daerah, dengan mengangkat budaya dan kearifan lokal (local genius) yang hidup
dan berkembang di masyarakat. Di sana akan terjadi proses pembelajaran dan
penanaman nilai-nilai (positif) budaya lokal. Televisi lokal menjadi harapan,
Jika tidak ada orang yang memulai program televisi yang mengangkat budaya
daerah, dikhawatirkan budaya itu akan makin luntur dan tidak dikenal generasi
muda.
Ada dua tipe televisi lokal di Indonesia. Pertama, televisi lokal yang
dibiayai oleh pemerintah kabupaten/propinsi melalui APBD dan di-setting menjadi
government tv atau televisi pemda. Kedua, televisi lokal yang dibiayai atau
dimodali oleh kalangan swasta, yang bernuansa binis dan bertujuan untuk
mendapatkan keuntungan (profit
oriented). Apalagi,
televisi merupakan bisnis yang padat modal.
Seperti halnya media massa lain, televisi lokal memiliki kekuatan
sebagai penggerak ekonomi dan dinamika kebudayaan. Karena itu, televisi lokal
sejak dini harus mampu menunjukkan idealisme yang jelas, tidak hanya berangkat
dari idealisme komersial.
Stakeholders yang membangun sebuah perusahaan media elektronik harus
lebih dulu mempunyai idealisme moral dan spiritual, sebelum sampai pada
tingkatan komersial. Jika cita-cita itu tidak diperjelas sejak awal, akan
mempengaruhi perjalanan program tayangan.
Apa pun bentuk idealisme stakeholders, sebuah media televisi harus
digarap secara profesional. Dalam sistem kerja profesional harus jelas arah
yang ingin dicapai. Program juga bisa ditata secara profesional, tidak setengah-setengah
sehingga menjadi kabur dan kurang menarik. Belum lagi bagaimana tanggapan dari
masyarakat atau pasar yang akan menjadi sasaran program itu.
Selain kepastian idealisme, idealnya keberadaan televisi lokal harus
didukung sebuah jaringan yang kuat. Dengan jaringan kerja dan bisnis seperti
itu, kehadiran sebuah televisi lokal nantinya tidak sekadar sebagai kelengkapan
sebuah peradaban masyarakat kota, tetapi menjadi bagian dari kehidupan
masyarakatnya.
Tantangan terberat yang dihadapi oleh televisi lokal (swasta)
sebetulnya adalah bagaimana menjamin kelangsungan hidup industri televisi lokal
dalam konteks persaingan bisnis media. Kita tahu, kemunculan sebuah media,
tentu akan mengancam (dan diancam) media lain. Persaingan ini tidak bisa
dihindari, karena televisi lokal ini akan nimbrung dalam perebutan kue iklan
yang selama ini diperebutkan oleh media cetak, radio, dan televisi.
Karena itu perlu antisipasi, bagaimana menciptakan persaingan yang
sehat dan fair. Idealnya, persaingan mestinya dibangun pada konteks program,
content, dan manfaat bukan harga spot. Karena saya pernah mendengar informasi,
harga spot iklan di sebuah televisi lokal ’seharga’ spot iklan di radio.
‘Pasang iklan di televisi, harga radio!’ Kondisi ini perlu menjadi perhatian
kalangan pengelola dan pebisnis media, agar kehadiran televisi lokal nantinya,
tidak mematikan media lain.
Primadona televisi lokal pada umumnya adalah program bermuatan lokal.
Mulai dari berita, musik dan hiburan, program kesenian dan kebudayaan, hingga
potensi ekonomi lokal. Namun, dalam konteks arus perubahan zaman yang demikian
cepat, menghadirkan dan mengangkat kembali budaya daerah bukan hal mudah.
Selama ini, infiltrasi televisi melalui bahasa, musik, pertunjukan gaya
hidup, terus membombardir alam pikiran pemirsa dan membuatnya seakan menjadi
ciri kehidupan modern, dan memaksa pemirsa untuk mengikutinya hingga akan
dibuat tergantung terhadapnya.
Masyarakat pun tampaknya tidak terlalu ambil peduli, terhadap gempuran
acara televisi yang negatif. Televisi sudah mengalahkan pengaruh guru,
agamawan, budayawan, memaksa seseorang melakukan kebiasaan tertentu.
Dengan kondisi itu, stasiun televisi lokal yang ingin mengangkat budaya
daerah harus memiliki idealisme kuat, karena stasiun televisi yang bercirikan
budaya daerah harus menjalani kehidupan yang penuh risiko. Tingkat rating yang
rendah, bisa mengakibatkan stasiun TV itu miskin iklan. Dampak selanjutnya bisa
diperkirakan jika kue iklan tidak bisa banyak diraih: berhenti beroperasi. Hal
ini ini membawa sebuah dilema.
Jogja TV adalah salah satu TV Lokal yang ada di DIY. Jogja TV relatif
mudah diakses dengan power transmitter
sebesar 10 KW sehingga mampu menjangkau seluruh DIY. Keeksistensian Jogja TV
sebagai TV tradisi dan menjadikan keraton sebagai kiblatnya, seakan tidak
diragukan lagi bahwa jogja TV menjunjung tinggi nilai – nilaio budaya
yogyakarta, sehingga mampu melestarikan tradisi adiluhung melalui program
acaranya. Jogja TV sebgai TV lokal mempunyai kekuatan tersendiri, yaitu pada “kelokalannya”
itu sendiri yang tidak mungkin disaingi oleh stasiun jaringan sebagai pesaing
terberat stasiun lokal. Persoalannya sekarang adalah tinggal bagaimana kita
menciptakan, memproduksi, dan mengemas program yang berkonten lokal. Seperti
halnya kegiatan masyarakat lokal, peristiwa lokal, pendidikan dan hiburan
lokal. Secara ringkas perlu diterapkan strategi differentiation pada programming.
Dengan demikian penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana proses pemrograman
(programming) yang dilakukan oleh programmer jogja TV dalam mengemas nilai
- nilai lokal – budaya jawa sebagai budaya yogyakarta – pada program siarannya.
Jogja
TV yang berlokasi di Jl. Wonosari Km. 9 merupakan televisi lokal pertama yang
berdiri di Yogyakarta . Diresmikan oleh Sri Sultan HB X pada tanggal 17 September
2004. Pada awal berdiri Jogja TV bersiaran selama 7 jam yaitu pukul 16.00-23.00
WIB dengan kekuatan pemancar 5 KW. Adapun program-program yang ditayangkan
antara lain program berita dan informasi Seputar Jogja, Pawartos Ngayogyakarta
serta program budaya. Selanjutnya bertambah menjadi 12 jam yaitu pukul
12.00-24.00 WIB dengan tambahan program disiang hari yaitu Jogja Nyasar, Java
Exotic dan dialog interaktif.
PT. Yogyakarta Tugu Televisi juga merupakan TV yang memiliki 3 pilar
utama yaitu pendidikan, budaya, dan pariwisata sehingga diharapkan mampu
memberikan informasi, hiburan, dan kontrol sosial terhadap masyarakat
Yogyakarta dan sekitarnya. Visi dan Misi Jogja TV diantaranya adalah menjadi
etalase kearifan lokal budaya Nusantara dan menjadi televisi yang
mengaplikasikan teknologi tanpa mengesampingkan tradisi adiluhung, sehingga
dapat mendorong peningkatan sektor pendidikan, perekonomian serta pariwisata
Yogyakarta dan sekitarnya. Jogja TV yang tergabung dalam jaringan Indonesia Network, kini menyapa pemirsa
setiap hari mulai pukul 06.00 s/d 24.00 wib. Pada tahun 2011 Jogja TV akhirnya
mendapatkan Ijin IPP Tetap dari pemerintah melalui KPID DIY.Dengan daya pancar
10 KW, coverage area meliputi Yogyakarta, Bantul, Sleman,
Gunung Kidul dan Kulonprogo.
Tidak hanya itu coverage
area Jogja TV meliputi
Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Wonogiri, Sragen dan Klaten. Sedangkan beberapa
daerah lainnya adalah Magelang, Purworejo, Kutoarjo, Banjarnegara, sebagian
Kebumen, Wonosobo, Temanggung dan sekitarnya. Beberapa program acara unggulan
Jogja TV adalah Seputar Jogja, Pawartos Ngayogyakarta, Inyong Siaran,
Klinong-Klinong Campursari, Rolasan, Jelajah Kampus dan Dokter Kita. Dengan
slogan Tradisi Tiada Henti,
Jogja TV hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai salah satu pilar
kekuatan yang ikut melestarikan sekaligus mengembangkan kebudayaan Yogyakarta
sebagai Daerah Istimewa dan daerah-daerah disekitarnya melalui inovasi dalam
berbagai program acaranya. Dengan menghadirkan program yang bermuatan lokal
sebesar 80%, Jogja TV diharapkan benar-benar mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat akan informasi dan hiburan dari daerahnya sendiri. Sebagai televisi
lokal yang mengedepankan local
content dengan target
audiens semua lapisan masyarakat.
Namun sebaik apapun kualitas program jika tidak diimbangi
dengan pengaturan program dengan baik, maka tidak akan mampu mencapai tujuan
yang diharapkan. Program merupakan ujung tombak sebuah stasiun televisi yang
langsung bersentuhan dengan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan
yang tepat. Disinilah arti penting pemrograman (programming), karena programming
ibarat pusat syaraf bagi stasiun televisi, tentunya tanpa mengesampingkan
peran bagian lain dari dalam sebuah stasiun televisi.
B.
Identifikasi Masalah
KEMUNCULAN Jogja TV beberapa waktu lalu menambah jumlah TV swasta lokal komersial di Jateng - DIY. Di Semarang dan DIY saja, paling
tidak stasiun tersebut harus bersaing dengan TV sejenis yang telah lebih dulu
ada, yaitu : RBTV, Tugu TV,TVB dan Pro-TV. Namun
fenomena tersebut menandakan ada optimisme pengelola stasiun televisi lokal
dalam merebut segmen pemirsa.
Prospek bisnis pertelevisian
agaknya juga bergerak ke arah yang bagus. Maret tahun lalu saat Jogja TV uji tayang, tak semua kalangan menganggap bisnis itu bakal prospektif. Ada
pesimisme yang cukup signifikan terhadap kemunculan TV Swasta Lokal komersial
itu di wilayah DIY.
Pesimisme itu tentu tak muncul
tanpa alasan. TV Lokal dibayangkan tak bakal mampu bersaing dengan TV Swasta
Nasional. Apalagi yang disebut terakhir itu bertambah banyak dan juga
menjadikan pemirsa di tataran lokal Jateng sebagai segmennya.
Bukan itu saja, besar biaya
operasional sebuah televisi swasta menjadi momok yang menakutkan. Beberapa TV Swasta
Nasional yang dikabarkan selalu rugi ketika itu karena sedikitnya iklan yang
didapat juga bukan cerita awalan yang menggembirakan. Padahal, sebagai contoh
saja, untuk sebuah program tayangan, biaya produksi yang harus dikeluarkan
bukan main besar.
Dengan kekuatan itu, jika program yang disajikan itu positif, maka
televisi lokal bisa menciptakan masyarakat berbudaya lebih baik. Masalahnya,
seringkali tergoda uang, hingga meninggalkan idealisme. Bukan tak mungkin
televisi lokal mengalami hal serupa.
C.
Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah, maka permasalahan yang diangkat
dalam penelitian ini adalah :
“MENGEMAS
PROGRAM PENTAS WAYANG SEBAGAI REPRESENTASI NILAI – NILAI BUDAYA LOKAL DI JOGJA
TV”
1.
Bagaimana programming yang dilakukan programmer
jogja TV mengemas pentas wayang yang ada di masyarakat sebagai sebuah program
siaran.
2.
Bagaimana nilai – ilai lokal yang
terkandung dalam pentas wayang.
D.
Manfaat Penelitian
1.
Sebagai pengembangan ilmu
pengetahuan dibidang komunikasi bagi mahasiswa fakultas ilmu sosial dan
humaniora.
2.
Meningkatkan profesionalisme
komunikasi dalam memaksimalkan penguasaan terhadap media massa, khususnya Media
Massa Elektronik (Televisi)
3.
Sebagai masukan dan bahan evaluasi
dalam bidang komunikasi.
4.
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi tentang keberadaan TV Lokal.
5.
Menambah pengetahuan keilmuan
kamunikasi dalam bidang komunikasi berbasis kultural.
E.
Tujuan Penelitian
Mendeskripsikan mengenai programming
yang dilakukan programmer Jogja TV
mengemas pentas wayang sebagai representasi program bermuatan nilai - nilai
lokal.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan
tugas akhir ini disusun untuk memberikan gambaran umum tentang penelitian yang
dijalankan. Sistematika penulisan tugas akhir ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan
tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, maksud dan tujuan,
batasan masalah / ruang lingkup kajian, metodologi penelitian, dan sistematika
penulisan.
BAB III. ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM
Bab ini berisi
analisis kebutuhan untuk sistem yang akan dibangun sesuai dengan metode
pengembangan perangkat lunak yang digunakan. Selain itu, bab ini juga berisi
perancangan struktur basis data dan antarmuka untuk sistem yang akan dibangun.
BAB IV. IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN SISTEM
Bab ini berisi hasil
implementasi analisis dan perancangan sistem yang dilakukan, serta hasil
pengujian sistem di PT. Bandung Media Televisi Indonesia sehingga diketahui
apakah sistem yang dibangun sudah memenuhi syarat.
BAB IV. IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN SISTEM
Bab ini berisi hasil
implementasi analisis dan perancangan sistem yang dilakukan, serta hasil
pengujian sistem di PT. Bandung Media Televisi Indonesia sehingga diketahui
apakah sistem yang dibangun sudah memenuhi syarat.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi kesimpulan dan saran yang sudah diperoleh dari hasil penulisan
tugas akhir.
G.
Landasan Teori
Pada landasan teori ini, peneliti akan membahas mengenai kerangka teori
– teori yang berhubungan dengan topik dari judul skripsi ini.
1.
Teori komunikasi
Walaupun istilah komunikasi sudah sangat akrab ditelinga, namun membuat
definisi mengenai komunikasi ternyata tidaklah semudah yang diperkirakan.
Stephen W. Littlejhon mengatakan bahwa ; communication
is difficult to define. The word abstract and, like most terms, posses numerous
meanings (komunikasi sulit untuk didefinisikan, kata komunikasi bersifat
abstrak, seperti kebanyakan istilah, memiliki banyak arti).
2.
Komunikasi massa
Komunikasi massa adalah salah satu konteks komunikasi antar manusia yang
sangat besar peranannya dalam perubahan sosial atau masyarakat. Sebagai salah
satu konteks komunikasi, komunikasi massa adalah komunikasi antar manusia yang
memanfaatkan media (massa) sebagaiu alat komunikasi.
3.
Program TV
Dominic
menjelaskan pentingnya program dalam media massa penyiaran, adapun program yang
dimaksud meliputi tahapan yakni : proses pemilihan, penjadwalan, evaluasi
program. Hal tersebut senada dengan yang diutarakan oleh ferguson yang
mendefinisikan program sebagai the act of
choosing and scheduling program on broadcast station or a subcribed channel.
Dalam skripsi ini akan diutarakan kajian program tayangan wayang, yang meliputi
: pemilihan program wayang, penjadwalan dan evaluasi.
4.
Jogja TV
Jogja
TV yang berlokasi di Jl. Wonosari Km. 9 merupakan televisi lokal pertama yang
berdiri di Yogyakarta . Diresmikan oleh Sri Sultan HB X pada tanggal 17
September 2004. Pada awal berdiri Jogja TV bersiaran selama 7 jam yaitu pukul
16.00-23.00 WIB dengan kekuatan pemancar 5 KW. Adapun program-program yang
ditayangkan antara lain program berita dan informasi Seputar Jogja, Pawartos
Ngayogyakarta serta program budaya. Selanjutnya bertambah menjadi 12 jam yaitu
pukul 12.00-24.00 WIB dengan tambahan program disiang hari yaitu Jogja Nyasar,
Java Exotic dan dialog interaktif.
5.
Representasi
Representasi
adalah sebuah perwakilan yang dapat memenuhi kategori tertentu, sedangkan yang
dimaksud dalam skripsi ini adalah perwakilan program siaran TV yang mengandung
nilai – nilai lokal didalamnya.
6.
Nilai – nilai lokal
Nilai
– nilai lokal yang dimaksud adalah nilai – nilai budaya, dimana sebagai
landasan berpijak adalah budaya jawa. Adapun nilai – nilai lokal budaya jawa
adalah keserasian hidup yang diwujudkan dalam nilai – nilai luhur ini, menurut
orang jawa seperti yang dipaparkan Magnis Suseno bahwa orang harus melalui
empat sikap, yaitu : sikap batin yang tepat, tindakan yang tepat, tempat yang
tepat, dan pengertian yang tepat.
7.
Pentas wayang
Pentas
wayang pada hakekatnya merupakan sumber nilai – nilai budaya adiluhung dan
menjadi filosofi hidup bagi orang jawa. Pentas wayang juga dipakai sebagai
arena penyampaian pendidikan masyarakat dengan cara menyiarkan petuah – petuah
budi pekerti dan suri tauladan yang baik.
H.
Metode Penelitian
1.
Jenis penelitian
Penelitian ini akan menjawab pertanyaan yang bersifat “how” dengan menggunakan studi kasus.
Secara umum, studi kasus itu sendiri merupakan strategi yang lebih cocok bila
pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan “how” atau “why”, bila
penelitian hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa –
peristiwa yang akan diselidiki, dan apabila fokus penelitiannya terletak pada
fenomena kontemporer didalam konteks kehidupan nyata.
Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal (desain kasus tunggal
digunakan sebagai pendahuluan bagi penelitian selanjutnya), dimana analisis
dilakukan pada satu kasusus saja, yaitu programming tayangan wayang pada Jogja TV
dibulan November 2010. Untuk menjawab permasalahan tersebut, digunakan studi
kasus deskriptif – eksplanatoris. Studi kasus deskriptif digunakan karena
membarikan gambaran yang mendetail tentang proses programming. Sedangkan studi
kasus eksplanatoris digunakan untik mendapatkan jawaban mengenai alasan –
alasabn yang terkait dengan programming tayangan wayang di Jogja TV, seperti :
mengapa ,memilih nilai budaya tertentu sebagai landasan program, dan
menjadwalkan pada waktu tertentu serta evaluasi yang dijalankan.
2.
Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di head office Jogja TV yang berlokasi di
Jl. Wonosari Km. 9 sendangtirto, Berbah, seleman, Yogyakarta 55822. Daya
jangkau siar Jogja TV : power 10 KW dan Channel 48 UHF.
3.
Subyek dan obyek penelitian
a.
Subyek penelitian
Subyek
penelitian ini adalah program director,
serta pihak – pihak yang terkait dalam proses pengumpulan data.
b.
Obyek penelitian
Jogja TV
dipilih sebagai obyek dalam penelitian ini, adapun secara spesifik obyek
penelitian ini adalah :
1)
Programming Jogja TV mengemas
pentas wayang.
2)
Nilai – nilai loikal yang terkandung
dalam pentas wayang.
I.
Metode Pengumpulan Data
a.
Dokumentasi
Merupakan
cara untuk menjelaskan dan menguraikan sesuatu yang telah melalui sumber –
sumber dokumen penting yang berkaitan dengan program yang sedang diteliti,
seperti company profile stasiun TV, rundown acara TV, dsb.
b.
Observasi
Kegiatan
penelitian yang bersifat formal dan informal dilokasi penelitian dilakukan
untuk mendapatkan data – data yang mendetail tanpa mengganggu proses yang
terjadi atau peneliti hanya sebagai pengamat.
c.
Wawancara
Wawancara
dilakukan kepada pihak – pihak yang terkait dengan topik penelitian, seperti program director yang mewakili, public relation, advertaising, serta pihak terkait yang diperoleh selama penelitian
berlangsung.
Wawancara
yang dilakukan sesuai dengan interview
guide maupun secara spontan berdasarkan kemampuan peneliti di lapangan
dengan tipe pertanyaan open – ended.
Dimana peneliti mengajukan pertanyaan kunci tentang fakta – fakta yang
berkaitan dengan penelitian.
J.
Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data yang diperoleh, penulis menggunakan carag
analisis deskriptif kualitatif. Yaitu cara analisis yang cenderung menggunakan
kata – kata untuk menjelaskan (Descrable)
fenomena ataupun data yang berdasarkan jenisnya. Selanjutnya data tersebut
dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan yang kompeherensif. Hasil dari korelasi
dengan teori yang kemudian disajikan dalam bentuk narasi agar mudah untuk
dipahami.
Penelitian dengan menggunakan metode deskriptif tidak melakukan
pengajuan hipotesis, sehingga teknik analisa data yang digunakan adalah
pengolahan data kualitatif. Dalam analisa data penelitian kualitatif tidak ada
suatu cara yang baku dalam mengaturnya, sehingga setiap peneliti memiliki cara
yang berbeda satu sama lain. Namun, pada dasarnya analisa data dalam penelitian
kualitatif adalah dengan cara menginterprestasikan data yang diperoleh dengan
kata – kata atau kalimat yang dipisah – pisahkan menurut kategori tertentu
dengan baik dan selanjutnya ditarik sebuah kesimpulan dari penelitian tersebut.
Analisa data dalam penelitian ini difokuskan pada program Jogja TV
dalam mengemas nilai – nilai lokal pada tayangan pentas wayang.
Menurut Mathew dan Michael,
analisa data penelitian kualitatif dapat menggunakan model interaktif yang
merupakan upaya berlanjut secara berulang dan terus menerus sebagaimana diagram
dibawah ini :
Diagram 1.1
Analisa Model Interaktif
Pengumpulan Data Penyajian
Data
Reduksi Data Verifikasi
sumber : miles dan michael
Keterangan
:
a.
Pengumpulan data sebagaimana yang
dapat dipaparkan penulis sebelumnya adalah upaya untuk memperoleh data melalui
kegiatan dokumentasi, studi pustaka, wawancara, dan observasi.
b.
Reduksi data yaitu upayha dalam
menyeleksi data – data yang penting untuk laporan penulisan. Laporan tersebut
disusun lebih sistematis dan mudah dipahami.
c.
Verifikasi adalah pemeriksaan data, apakah
data tersebut sudah berkualitas atau tidak. Pemeriksaan data dapat ditempuh
melalui teknik keabsahan data.
d.
Penyajian data yaitu penyajian
suatu data melalui hasil yang sistematis sebagai laporan penelitian.
Dari gambaran analisa interaktif tersebut dapat dipahami bahwa anlisa
data kaulitatif selalu terkait antar satu sama lain.