TRADISI KRITIS DALAM COMMUNICATOR
by Unknown
TRADISI
KRITIS DALAM COMMUNICATOR
Review Liitle John Edisi 8
Teori politik identitas memiliki kesamaan dengan
cara pandang kritikal tentang identitas dan memiliki implikasi penting bagi
komunikator. Teori identitas berawal dari berbagai gerakan sosial yang
berkembang di amerika serikat pada tahun 1960-an, seperti, hak-hak sipil, black
power/ hak-hak kulit hitam, gerakan perempuan dan gerakan gay dan lebian.
Secara umum gerakan-gerakan ini memiliki beberapa
kategori identitas :
1. Para anggota dari kategori identitas membagi
analisa yang sama terhadap
tekanan bersama mereka
2. Tekanan bersama menggantikan semua kategori
identitas yang lain
3. Anggota-anggota kelompok identitas selalu
saling bersekutu.
Hal ini menimbulkan asumsi tentang bagaimana
individu-individu yang terlibat dalam gerakan-gerakan ini melakukannya berdasar
atas bagaimana mereka membangun identitas mereka. Inti dari asumsi ini adalah
konsep identitas itu stabil, utuh, kategori kejelasan diri yang luas berbasis
pada penanda seperti : sex, ras dan kelas – dimensi-dimensi tersebut bersifat
individual.
Dugaan bahwa identitas itu tetap dan stabil telah
membawa teori-teori ini untuk menekankan pada keberbedaan. Tidak ada karakter
yang esensial untuk mendefinisikan semua wanita atau semua pria atau semua
orang asia atau semua orang latin. Ide tentang keberbedaan baru muncul ketika
penanda-penanda identitas dapat mengkarakterisasikan ciri apa yang dibawa oleh
seseorang tersebut. Terdapat tiga teori yang memudahkan kita dalam melihat
tradisi ini.
Teori Sudut Pandang
Sandra Harding dan Patricia Hill Collins yang
merumuskan teori ini dalam ilmu sosial. Julia Wood dan Marsha Stanback Houston
yang memasukan teori ini ke dalam disiplin ilmu komunikasi. Teori ini fokus
pada bagaimana keadaan kehidupan pribadi seseorang dapat mempengaruhi orang
tersebut dalam memahami dan membangun dunia kemasyarakatannya.
Untuk memahami pengalaman-pengaman tersebut bukan
dimulai dari kondisi sosial, harapan peran, atau definisi gender tetapi dari
perbedaan cara masing-masing orang membangun kondisi-kondisi tersebut dan
pengalaman-pengalaman mereka dengan kesemuanya itu.
Yang juga penting dalam teori ini adalah the
notion of layered understanding / dugaan terhadap pemahaman berlapis. Maksudnya
adalah kita memiliki identitas beragam yang tumpang tindih pada cara pandang
kita yang unik, termasuk didalamnya interaksi ras, kelas, gender dan
seksualitas dalam berbagai segi identitas. Pakar feminisme, Gloria Anzaldua
memberikan contoh tentang identitas berlapis dirinya sendiri : feminis lesbian
dunia ketiga dengan kecenderungan marksis dan mistis.
Teori ini juga memperkenalkan tentang element of power to the issue of
identity. Keterpinggiran atau keterkuasaan seseorang dilihat dari sudut pandang
kekuasaan. Novel dari Nadine Gordimer, July’s People, adalah contoh yang baik
menggambarkan keadaan ini. Juli seorang pembantu dari keluarga kulit putih di
afrika selatan membawa keluarga majikannya ke kampung halamannya ketika
revolusi meletus. Untuk pertama kalinya keluarga itu baru memahami tentang
siapa pembantu mereka itu dan bagaimana mereka sangat tergantung kepadanya pada
saat-saat seperti itu.
Marsha Houston, mengembangkan sudut pandang
epistemology dari perspektif feminis afro-amerika. Dia mengartikulasikan
kesulitan-kesulitan dalam dialog diantara wanita kulit hitam dan putih,
memberikan perbedaan-perbedaan epistemology dalam pengalaman hidup
masing-masing. Dia juga menjelaskan budaya resisten adalah ciri dari kehidupan
wanita kulit hitam.
Identitas sesuatu yang terbangun dan tertampilkan
Untuk memahami identitas sebagai sebuah kategori
yang berisi identitas-identitas yang berhubungan, teori harus berada dibawah
label politik identitas hari ini yang memiliki perhatian pada konstruksi dan
tampilan dari kategori identitas.
Berdasar itu tidak ada identitas yang eksis
diluar dari konstruksi sosial dari kebudayaan yang lebih besar. Kita
mendapatkan identitas kita dalam bagian besar dari konstuksi yang mencakup
bentuk identitas dari berbagai kelompok sosial dimana kita menjadi bagiannya,
seperti : keluarga, komunitas, kelompok kebudayaan, dan ideologi dominan yang
ada.
Jadi isu-isu : gender, kelas, ras dan seksualitas
selalu terwujudkan dalam perlawanan mereka terhadap identitas-identias
tersebut. Identitas kita selalu dalam proses menjadi, tidak pernah selesai,
sebagai tanggapan kita pada konteks dan situasi disekitar kita.
Contohnya Barbara Ponse menjelaskan, tahap-tahap
dalam perkembangan identitas lesbian sebagai kerja identitas. Shan Phelan,
sebuah proyek bukan sekedar peristiwa. Gender Trouble dari Judith Butler,
sebuah contoh yang yang bagus dalam kajian identitas dan sangat berpengaruh.
Teori Queer
Karya Butler tidak hanya berpengaruh pada teori
identitas tetapi juga pada teori queer. Teori ini tidak hanya menyangkut gender
(maskulin / feminin) tetapi juga sex (male / female). Menurut Butler : Gender ought not to be
construed as a stable identity or locus of agency from wich various acts
follow. Rather, gender is an identity tenuously constituted in time, instituted
in an exterior space through a stylized repetition of acts.
Teori queer tertarik mengkaji kombinasi dari
berbagai kemungkinan dari tampilan gender. Kajian Queer adalah tentang proses,
yang berfokus pada gerakan yang melampaui ide, ekspresi, hubungan, tempat dan
keinginan yang menginovasi berbagai perbedaan cara penjelmaan di dunia. Para
pakar Queer melihat implikasi kekuatan sosial dari mengadopsi model queer
sebagai kerangka kerja dalam mempelajari isu-isu gender, seksualitas dan
politik identitas. Michael Jackson, menjadi ikon menarik untuk dikaji.
Mereka bertujuan merubah cara pandang masyarakat
terhadapisu-isu tersebut. Teori Queer selalu memiliki agenda politik untuk
melakukan perubahan sosial. Point of resistance menjadi problematika terus
menerus yang timbul. Bagi banyak aktivis, istilah Queer adalah label yang
dilekatkan bersama untuk lesbian, gay, bisexual dan transgender, dalam politik
misalnya penyatuan isu-isu tersebut menjadi penting. Queers menjunjung segala
cara yang digunakan dalam mengekspresikan sex dari semua kemungkinan, jarak,
tumpang tindih, perselisihan dan resonansi, kehilangan dan kelebihan dari makna
itu sendiri. Teori Queer merupakan contoh terbaik dari postmodernisme.
Posted by adi sulhardi at 09:03