Psikografis Menurut Lowe

by



PSIKOGRAFIS MENURUT PT. LOWE INDONESIA

Survei psikografis Lowe Indonesia menemukan 8 karakter konsumen Indonesia yang masing-masing memiliki narasi konsumsi yang berbeda-beda. Seperti yang tertera dibawah ini :
Dalam survei psikografis konsumen Indonesia yang dilakukan Lowe Indonesia teridentifikasi sekitar 8,1% dari seluruh penduduk Indonesia. Mereka umumnya wanita usia matang yang berpendidikan rendah dan tinggal di daerah pedesaan. Karena kehidupannya yang pas-pasan, kelompok konsumen ini tidak punya banyak keinginan dan tidak pula terlalu optimistis terhadap masa depan mereka. Cenderung mengalir seperti air, tanpa harus "mengganggu" orang lain.

Sangat berbeda dengan tipe konsumen yang tinggal di perkotaan, atau dengan kata lain mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, konsumen tipikal seperti inilah yang justru sangat terbuka, suka bergaul dan penuh gairah. Umumnya juga didominasi wanita usia matang, dan dengan tingkat sosial-ekonomi A+. Mereka sangat materialistis, dan bagi mereka, memiliki (harta/benda) adalah puncak kebahagiaan hidup. Apalagi, mereka merasakan sukses yang mereka capai itu tidak diperoleh dari pendidikan formal.


Sisi menarik dari kelompok ini yaitu percaya bahwa pertemanan adalah investasi. Di mata mereka, pertemanan lebih seperti membuat jejaring daripada membangun ikatan. Sehingga buat mereka, pengakuan diri itu ada jika sangat diterima oleh lingkungan pergaulannya. Menurut mereka, teman (relasi/kerabat) adalah pendukung kesuksesan mereka.

Dalam survei Lowe Indonesia, segmen konsumen "Gaul-Glam"? ini juga teridentifikasi dengan baik dan secara demografis jumlahnya juga cukup besar, sekitar 11% dari total konsumen Indonesia. Dengan karakteristik seperti itu, berarti mereka merupakan potensi pasar menggiurkan karena mengikuti perkembangan fashion, mengamati iklan, dan memperhatikan lingkungan, sejarah dan ilmu-ilmu sosial.

Selain dua kelompok konsumen di atas, masih ditemukan 6 kelompok konsumen lain dalam survei bertajuk Faces of Indonesia. Survei psikografis yang diselenggarakan Lowe Indonesia ini memang bukan hal baru di Tanah Air. Namun, secara komprehensif berhasil menghimpun berbagai kelompok konsumen dari berbagai latar belakang sosial dan ekonomi. Menurut Paramita Mohamad, Direktur Perencanaan Strategis Lowe Indonesia, kerja keras penelitian yang persiapannya dimulai sejak pertengahan 2004 dilakukan dalam rangka mengikuti program Lowe Asia Pasifik yang berencana menyusun buku tentang wajah konsumen Asia 2005.

Eleanore S. Modesto, Penasihat Teknis Lowe Indonesia, menjelaskan, pihaknya juga berkepentingan terhadap hasil riset itu. Pasalnya, Lowe percaya bahwa tujuan utama setiap upaya komunikasi pemasaran -- termasuk periklanan -- adalah membangun merek-merek yang kuat (powerful brand), yaitu merek-merek yang memiliki hubungan emosional yang sangat bermakna dengan konsumennya. Hubungan manis seperti itu, menurut Eleanore, sulit ditiru pesaing dan hanya bisa dilakukan jika produsen mengenal dengan baik siapa konsumennya. Itu pula sebabnya Eleanore berpendapat bahwa Lowe Indonesia sebagai biro iklan wajib membantu produsen (klien) menciptakan kedekatan yang intens itu melalui iklan-iklan yang dihasilkan.

Kajian Faces of Indonesia bisa dibilang berskala besar. Melibatkan 2.086 responden, laki-laki dan perempuan, usia 18-45 tahun, dari berbagai lapisan sosial-ekonomi dan berbagai tingkatan pendidikan, responden diambil secara acak dari seluruh Indonesia (perkotaan dan pedesaan). Dari 63 daerah perkotaan di Indonesia, terpilih secara acak 9 kota, yakni Jakarta Pusat, Bandung, Makassar, Gianyar, Magelang, Padang, Lampung, Surabaya dan Sidoarjo. Sementara itu, dari 78 daerah pedesaan, terpilih secara acak 8 wilayah, yakni Bekasi, Garut, Karanganyar, Magetan, Lumajang, Tegal, Prabumulih dan Padang Sidempuan. Seluruh survei dilakukan pada November-Desember 2004.

Untuk menjelaskan psikografis konsumen Indonesia, memang cukup panjang jalan yang ditempuh. Pada dasarnya, Lowe Indonesia yang berkolaborasi dengan lembaga riset Prompt mencari tahu aspek bentukan psikologis konsumen, yakni cara pandang konsumen terhadap diri sendiri dan lingkungan serta bagaimana konsumen menjelaskan dirinya terhadap dunia luar, yang didefinisikan sebagai fundamental psychological makeup dan building blocks of their desires.
Cara pandang konsumen terhadap diri sendiri dan lingkungannya diketahui dari sikap/tanggapan mereka terhadap iklan dan isu-isu lain, seperti optimisme terhadap masa depan Indonesia, reaksi terhadap perubahan, opini tentang peran negara dan toleransi terhadap perilaku seksual.
Sementara itu, menyangkut building blocks of desires, ditemukan bahwa keinginan dasar setiap orang terdiri dari tiga lapis building blocks, yang disebut Gold, menyangkut persepsi terhadap kebendaan. Glory, sebagai pengakuan diri, dan Group, sebagai pernyataan hidup berkelompok. Masing-masing konsumen memiliki lapisan keinginan dasar yang berbeda-beda. Ada yang sangat tebal di Glory dan tipis di Gold dan Group; atau sebaliknya sangat tebal di Group dan Glory, tapi tipis di Gold. Seperti karakter si "Pasrah", misalnya, dari sisi Gold, ia cenderung skeptis, menerima apa adanya, sementara pengakuan diri (glory) baginya adalah diterima dan diakui lingkungannya dan persepsi grup bagi dia adalah punya loyalitas tinggi terhadap teman dan kerabat.
Secara keseluruhan, hasil survei memperlihatkan gambaran manusia-manusia yang muncul dalam keseharian kita. Secara umum teridentifikasi bahwa tipikal konsumen Indonesia adalah sangat peduli orang-orang sekitar, sangat concern terhadap pendapat orang akan dirinya, merasa tidak nyaman jika diasingkan dari lingkungannya, sangat peduli terhadap norma-norma dan tradisi, menjunjung tinggi senioritas dibanding kemampuan seseorang, mencari kedudukan yang aman dalam strata sosial, mendambakan keharmonisan dan hubungan yang penuh sopan santun, mendahulukan kerja sama dibanding bekerja sendiri-sendiri, serta mengharapkan orang melakukan hal sama seperti yang ia lakukan.
Penekanan tipikal konsumen Indonesia, terdeteksi bahwa mereka suka keharmonisan dan sangat menentang konflik, lebih suka tergabung dalam kelompok, mempunyai tugas dan tanggung jawab yang jelas, mempunyai ritual dalam keseharian, senang jika dibutuhkan dan dihargai, serta ada batasan yang jelas antara perbuatan salah dan benar.
Tipikal dan karakter konsumen mau tak mau memengaruhi perilaku konsumsi mereka. Karakter konsumen introver tentu berbeda cara konsumsinya dari konsumen ekstrover. Karakter konsumen senang menjadi pusat perhatian tentu berbeda cara konsumsinya dari konsumen yang tidak suka menjadi pusat perhatian. Pembedaan-pembedaan inilah yang dicoba ditelisik Lowe Indonesia lewat narrative of consumption konsumen Indonesia.
Jadi, ibarat panggung pertunjukan, hasil survei berusaha memetakan peran (aktor) dan adegan (narasi) dalam konsumsi. Seperti telah dikemukakan, narasi dibangun berdasarkan pemirsanya. Pemirsa yang dimaksudkan ada tiga kemungkinan. Pertama, bisa jadi dirinya sendiri; kedua, orang orang yang memiliki arti khusus baginya; dan ketiga, orang-orang secara umum. Dalam kaitannya terhadap diri sendiri, ditemukan tiga narasi generik. Pertama, narasi saya (dirinya sendiri) sedang sedih, kecewa, cemas dan sejenisnya. Kedua, narasi saya (dirinya sendiri) sedang marah, benci, ingin mengamuk; dan tiga, narasi saya sedang gembira dan suka hati.
Kalau pemirsanya adalah orang-orang yang memiliki arti khusus, ditemukan tiga narasi generik. Pertama, narasi yang menyiratkan keinginan memberi atau meminta perhatian. Kedua, narasi yang menyiratkan keinginan berbagi, dan ketiga, narasi yang menyiratkan keinginan dihargai atau diapresiasi. Adapun kalau pemirsanya orang-orang secara umum, terdapat dua golongan besar narasi. Pertama, narasi yang memperlihatkan keinginannya menjadi bagian dari kelompok, dan kedua, narasi yang memperlihatkan keinginannya membedakan dirinya dari kelompok.
Pembagian karakter konsumen di atas, menurut Harry Susianto, pengamat perilaku konsumen dari Universitas Indonesia, selalu menjadi pola lazim pada survei-survei psikografis. Umumnya, studi psikografis berusaha mengumpulkan data, lalu menggolong-golongkan partisipan ke dalam beberapa segmen, dan kemudian mengaitkan segmen itu dengan persentase daya belinya. ”Seharusnya ada langkah berikutnya lagi," ujarnya menunjuk langkah berikutnya, yakni menguji benarkah bila kita mengetahui segmen seorang partisipan, informasi ini lebih memprediksi perilaku belanjanya tanpa mengetahuinya. "?Kalau benar, baru tipologi psikografis itu berguna,"? lanjutnya.
pendekatan psikografis akan lebih membuat pesan yang diinginkan mengena. "Dapat mengomunikasikan produk yang bisa ditangkap emosinya sesuai pasar yang dibidik," tandasnya lagi. Iklan yang bagus adalah iklan yang berhasil memengaruhi gaya hidup. Contohnya, iklan ponsel. "Produsen berhasil men-set up gaya hidup untuk memengaruhi pasar,". Sehingga, konsumen sering berganti ponsel. "Pasar memerlukan produk yang bisa mengasosiasikan dirinya pada kelompok acuan tertentu."
Strategi komunikasi juga sering salah sasaran. Dari survei ternyata diketahui konsumen kelas atas di perkotaan jarang menonton teve. Sementara, bagi beberapa produk, teve dianggap media paling efektif. "Jadinya, salah sasaran." Dikatakannya, produsen cenderung bergerombol menyerbu karakter konsumen tertentu, seperti ibu-ibu PKK. "Akibatnya, iklan-iklan yang muncul hampir sama dan tidak memiliki keunikan masing-masing."
Sementara produk-produk teknologi komunikasi lebih mudah penjabaran psikografis konsumennya, lain halnya dengan produk consumer goods, terutama makanan dan minuman, lebih rumit. Pada produk ponsel, misalnya, pendekatan psikografis tidak hanya lewat cara komunikasi, tetapi juga penyajian produknya. Berbeda dari produk kecap, misalnya, dibuat apa pun, bentuknya tetap berupa kecap, tidak berubah menjadi bentuk lain. Itu sebabnya, seperti dikatakan Rusmaina Lenggogeni, Manajer Merek Senior Kecap Bango, PT Unilever Indonesia, pembagian cluster psikografis konsumen tidak boleh hanya terpaku pada satu aspek, tetapi pada berbagai sumber data. "Metodologi riset psikografis yang dipakai Unilever berbeda dari Lowe.”

Lalu, disebutkan bahwa setiap produk ada narasinya. Hanya saja, pertanyaannya, dari mana Lowe bisa menyimpulkan hal itu? Dalam pernyataannya, Lowe menyebutkan: "What are the stories being told by Indonesia consumer through consumtion? From various qualitative studies, we observes that consumers try to convey a certin set of soties (naratives) through consumption act...."?. Bukankah ini menunjukkan bahwa kesimpulan itu diambil bukan dari survei Lowe, melainkan dari berbagai studi kualitatif?

Yang paling penting dan perlu diperhatikan, selama ini survei-survei psikografis hanya berhenti pada tahap menggolong-golongkan responden (konsumen) dalam suatu segmen. Padahal, bisa diperdalam dan lebih bermanfaat kalau diketahui pula bagaimana perilaku belanja si konsumen. Kalau hanya sebatas menggolongkan konsumen, itu masih terlalu umum dan sudah banyak.

Memang studi psikografis biasanya hanya (a) mengumpulkan data; (b) menggolong-golongkan partisipan ke dalam beberapa segmen; (c) lalu mengaitkan segmen dengan persentase konsumsi. Seharusnya ada satu langkah lagi, yaitu (d) menguji benarkah bila kita mengetahui segmen seorang partisipan, informasi ini akan lebih memprediksi perilaku belanjanya ketimbang tanpa mengetahuinya (= base rate). Kalau benar, baru tipologi psikografis ini berguna. Jadi, yang penting, surveinya harus mendetail, tidak hanya berhenti sebatas menghasilkan tipologi.

Pada dasarnya, survei psikografis mempertemukan temuan psikologis dengan demografis. Karena itu, survei biasanya melihat tiga hal: apa kegiatan responden; apa yang menjadi perhatian dan minatnya terhadap segala hal, termasuk hobi; serta apa pendapat responden tentang segala hal (opini).

Survei psikografis seperti itu memang terkendala batas waktu. Gaya hidup terus berubah. Sementara itu, personalitas terefleksi oleh perilaku gaya hidup dan akan berubah sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing. Pindah pekerjaan, punya teman baru, atau berada dalam lingkungan baru bisa memengaruhi gaya hidup seseorang.

Hasil riset psikografis Lowe Indonesia ini dalam beberapa hal memang bisa menggambarkan psikografis orang Indonesia. Namun, hal itu bukan sesuatu yang baru. Modelnya mengacu pada model beberapa penelitian terdahulu. Value dan lifestyle dari Amerika Serikat juga dikembangkan dalam 8 macam. Namun, itu bukan masalah. Yang penting buat produsen, bagaimana membaca hasil survei untuk kepentingan produknya. Sebenarnya, produsen Indonesia bisa dibilang pengamat yang jitu. Sebelum survei-survei psikografis bermunculan, mereka tanpa disadari sudah mengambil keputusan memakai pendekatan psikografis yang tidak dilandasi analisis ilmiah. Artinya, produsen secara alami telah mengasah kepekaannya dalam mendekati target pasarnya.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU KONSUMEN
Kotler dan Armstrong (1994) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen terdiri dari:
a. Faktor Kebudayaan
Faktor kebudayaan mempunyai pengaruh yang paling luas dan dalam terhadap perilaku konsumen, yang mencakup:
1) Kebudayaan
Kebudayaan adalah faktor penentu yang paling pokok dari keinginan dan perilaku seseorang. Budaya merupakan keseluruhan kepercayaan, nilai-nilai dan kebiasaan yang dipelajari yang membantu mengarahkan perilaku konsumen para anggota masyarakat tertentu.
2) Sub Budaya
Tiap budaya pasti mempunyai sub budaya yang lebih kecil atau kelompok orang dengan sistem nilai yang sama berdasarkan pengalaman dan situasi hidup yang sama. Sub budaya sebagai kelompok budaya budaya berbeda yang sebagai segmen yang dapat dikenali dalam masyarakat tertentu yang lebih luas dan lebih kompleks.
3) Kelas Sosial
Hampir setiap masyarakat mempunyai suatu bentuk struktur kelas sosial. Kelas sosial adalah susunan yang relatif permanen dan teratur dalam suatu masyarakat yang anggotanya mempunyai nilai, minat dan perilaku yang sama.
b. Faktor Sosial
Faktor sosial terdiri dari tiga faktor pendukung, yaitu:
1) Kelompok
Perilaku konsumtif seseorang dipengaruhi oleh banyak kelompok kecil, kelompok tersebut terdiri dari kelompok primer dan sekunder. Kelompok primer dimana seseorang seseorang berinteraksi secara reguler tetapi interaksi tersebut bersifat tidak resmi (informal) seperti: keluarga, teman, tetangga dan rekan kerja. Kelompok sekunder dimana seseorang berinteraksi secara lebih resmi (formal) dan tidak reguler. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah organisasi, ikatan ataupun serikat.
2) Keluarga
Anggota keluarga dapat memberikan suatu pengaruh yang kuat pada perilaku konsumtif. Keluarga dibedakan menjadi dua, yakni keluarga orientasi dan keluarga prokreasi. Keluarga orientasi yang merupakan orang tua, sedangkan keluarga prokreasi, yakni suami-isteri dan anak-anak mempunyai pengaruh lebih langsung terhadap perilaku konsumtif sehari-hari.
3) Peran dan status
Seseorang dapat berperan serta dalam banyak kelompok, seperti: keluarga, perkumpulan dan organisasi. Posisi seseorang dalam tiap kelompok dapat ditentukan dari segi peran dan status. Peran adalah suatu kegiatan yang diharapkan seseorang agar selaras dengan orang-orang sekelilingnya. Sedangkan status mencerminkan penghargaan umum oleh masyarakat sesuai dengan status tersebut.
c. Faktor Pribadi
Keputusan konsumen yang dipengaruhi oleh karakteristik pribadi, antara lain:
1) Usia
Yang diidentifikasikan yaitu seseorang dewasa mengalami perjalanan hidup atau transformasi tertentu sebagaimana mereka menjalani hidupnya.
2) Pekerjaan
Pekerjaan seseorang akan mempengaruhi barang dan jasa yang dibelinya.
3) Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi akan sangat mempengaruhi apalagi jika seseorang tersebut mempunyai pendapatan dan tabungan yang dapat ia belanjakan.
4) Gaya Hidup
Gaya hidup seseorang menunjukkan pola kehidupan orang yang bersangkutan di dunia ini sebagaimana tercermin dalam kegiatan, minat dan pendapatnya. Selain itu, merangkum sesuatu yang lebih daripada kelas sosial atau kepribadian orang tersebut dan menggambarkan seluruh pola seseorang dalam beraksi dan berinteraksi di dunia.
5) Kepribadian dan Konsep Diri
Setiap orang memiliki kepribadian yang khas dan tentunya akan mempengaruhi perilaku konsumen. Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologis yang unik dan menimbulkan tanggapan yang relatif konsisten dan tahan lama terhadap lingkungannya itu sendiri.
d. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang utama terdiri dari:
1) Motivasi
Pada saat tertentu, seseorang mempunyai banyak kebutuhan. Suatu kebutuhan akan menjadi motif apabila ia ditumbuhkan sampai pada suatu tingkat intensitas yang cukup. Motif adalah suatu kebutuhan yang cukup menekan seseorang untuk mengejar kepuasan.
2) Persepsi
Seseorang yang termotivasi akan siap bereaksi dan bertindak. Merupakan proses dimana seseorang individu memilih, merumuskan dan menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang berarti mengenai dunia.
3) Belajar
Seseorang yang bertindak, maka selanjutnya adalah belajar. Belajar menggambarkan perubahan-perubahan dalam perilaku individu yang timbul dari pengalaman yang sebagian besar perilaku yang dipelajari.
4) Kepercayaan dan Sikap
Melalui bertindak dan belajar, maka seseorang mendapatkan kepercayaan dan sikap. Pada gilirannya hal ini juga mempengaruhi perilaku konsumen. Kepercayaan adalah suatu pemikiran deskriptif yang dimiliki seseorang tentang sesuatu. Sikap adalah evaluasi, perasaan dan kecenderungan seseorang yang relatif konsisten terhadap suatu objek atau gagasan.
Ke-8 karakter konsumen itu masing-masing memiliki narasi dan aktor yang berbeda-beda. Ada karakter "?Pasrah"? (Introvert WallFlower) seperti kisah Melati di atas; ada pula karakter "?Gaul-Glam"? (The Networking Pleasure Seeker) yang bertolak belakang dengannya.
Adapun karakter konsumen lainnya, terungkap ada kelompok "?Orang Alim"? (Confident Establish) yang persentase demografisnya 5,2%. Mereka ini umumnya pria usia matang, berpendidikan tinggi, dan tinggal di daerah perkotaan. Mereka sangat percaya diri dan berkarakter kuat, menyukai kedamaian dalam kehidupan sosialnya, sangat normatif dan suka menolong. Gambaran yang mendekatinya barangkali adalah sosok bapak baik-baik yang sering diperankan Deddy Mizwar dalam beberapa filmnya. Pada kelompok ini, dasar keinginannya adalah lebih mementingkan keluarga dibanding materi, punya reputasi baik, dan cukup diterima masyarakat.
Lalu, ada kelompok "?Ibu PKK"? (The Optimistic Family Person) yang jumlahnya cukup besar, 13,5%. Karakter kelompok yang kebanyakan wanita usia matang dari daerah rural dengan sosial-ekonomi rendah ini berusaha menjalani hidup dengan bersahaja, realistis, kekeluargaan dan normatif. Seperti layaknya ibu-ibu rumah tangga di Indonesia, mereka menyukai masak sebagai hobi, tidak sekadar kewajiban. Hidupnya diabdikan untuk keluarga. Dasar keinginannya tidak materialistis, tidak mau macam-macam dan keluarga adalah segalanya.
"?Anak Nongkrong"? (The Change Expect Lad) adalah kelompok konsumen lain yang jumlahnya 10,5%. Seperti sebutannya, kelompok ini sangat mudah dikenali. Mereka adalah anak muda laki-laki, tinggal di daerah urban, tapi tingkat sosial- ekonominya menengah-bawah. Karakter mereka: hidup berorientasi pada teman-temannya (kelompoknya). Bagi mereka, "?All is one and one is all"?. Menurut mereka, teman adalah segalanya. Demi teman, mereka mau melakukan apa saja. Karena keadaan dan lingkungan, mereka sangat toleran terhadap seks. Dan yang menjadi dasar keinginan mereka, diterima dan dicintai teman-teman. Teman adalah motivasi hidup serta materi bagi mereka atau masih menjadi alat mempertahankan hidup. Kelompok ini biasa terlihat nongkrong di mal (bukan di resto atau kafe) sambil bercanda dan merokok ramai-ramai.
Berikutnya, kelompok "?Lembut Hati"? (Cheerful Humanist) yang secara demografis jumlahnya 12,1%. Kelompok yang kebanyakan terdiri dari wanita muda dari daerah pedesaan dengan tingkat sosial-ekonomi rendah ini cenderung tidak suka menjadi pusat perhatian, walaupun diterima di lingkungannya. Mereka menyukai lingkungan damai penuh harmoni, sangat menaruh perhatian dan berempati pada lingkungan dan orang-orang sekitarnya, serta merasa sangat dihargai jika lingkungan menerima mereka apa adanya. Dengan karakter seperti itu, keinginan dasar mereka jelas tidak mementingkan materi, ingin selalu dibutuhkan lingkungan dan menyenangi kebersamaan.
Ada kelompok konsumen yang sangat atraktif, yakni kelompok "?Main untuk Menang"? (The Savvy Conquer). Kelompok ini sangat lugas. Tujuan hidupnya adalah mencapai kejayaan. Karena itu, mereka sangat suka kompetisi dan cenderung dominan dalam pergaulan. Mereka yang umumnya pria matang berpendidikan dan dari daerah perkotaan ini sangat menikmati hidup. Misalnya, sikap mereka terhadap seks sebagai salah satu bentuk relaksasi. Mereka sangat suka fashion, menikmati cuisine dan suka iklan. Sehingga, keinginan dasar mereka yang selalu muncul adalah dimanja materi dan barang-barang yang dipunyai, suka disanjung dan dipuja, serta supel dan penuh energi. Konsumen atraktif ini secara demografis ternyata jumlahnya sangat besar, 16%.
Sementara di kalangan pria ada kelompok "?Main Untuk Menang"?, sejenis dengan mereka, di kalangan wanita ada kelompok "?Bintang Panggung"? (The Spontanius Fun Loving) sebanyak 13,6%. Mirip para prianya, kelompok yang sebagian besar wanita dari daerah perkotaan dengan sosial-ekonomi tinggi ini sangat suka menjadi pusat perhatian. Mereka suka bergaul, suka pamer dan menyenangi aktivitas di luar rumah, seperti pesta dan kumpul-kumpul. Mereka menyukai hal-hal baru yang sedang menjadi tren, seperti fashion dan gadget, serta sangat menikmati hidup. Bagi mereka, materi adalah alat untuk memenuhi tuntutan gaya hidup, sanjungan dan pujaan adalah bukti pengakuan diri, serta kelompok menjadi alat mencapai kepopuleran (lihat Tabel).