Pages

Pages - Menu

Sunday, September 30, 2012

Roland Barthes



A.  Pendahuluan

Berbicara tentang cultural studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya, perhatian kita tidak dapat dilepaskan dari The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studies yang dipelapori Richard Hoggart dan Raymond Williams. Intitusi yang didirikan pada 1963 ini memang tidak dapat dipisahkan dari kedua nama pendirinya tersebut. Hoggart dan Williams adalah pengajar sastra pada program-program ekstramural, yang membuat kajian tentang bentuk-bentuk dan ekspresi budaya yang mencakup budaya tinggi maupun rendah, dan mengemukakan sejumlah teori tentang kaitan antara keduanya sebagai formasi sosial historis (Budianta, 2002). Cultural studies itu sendiri mempunyai beberapa definisi sebagaimana dinyatakan oleh Barker (via Storey, 2003), antara lain yaitu sebagai kajian yang memiliki perhatian pada:


1. hubungan atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan
2. seluruh praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah populasi
3. berbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan
4. berbagai kaitan wacana di luar dunia akademis dengan gerakan-gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembagalembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan.

Roland Barthes lahir pada 12 November 1915 di kota Cherbourg di Normandia. Dia adalah anak dari petugas angkatan laut Louis Barthes, yang tewas dalam pertempuran di Laut Utara sebelum anaknya berusia satu tahun. Ibunya, Barthes Henriette, dan bibi dan nenek telah membangkitkan Dia di desa URT dan kota Bayonne . Ketika Barthes berumur sebelas tahun, keluarganya pindah ke Paris , meskipun lampiran ke akar provinsi itu akan tetap kuat sepanjang hidupnya.
Roland Barthes sangat dikenal luas sebagai penulis yang menggunakan analisis semiotik dan pengembang pemikiran pendahulunya seorang bapak semiologi atau semiotik Ferdinand de Saussure. Tulisan-tulisannya dipublikasikan dalam sebuah majalah di Perancis pada awal pertengahan abad silam memuat berbagai pesan, yang kemudian pesan-pesan itu disebutnya sebagai mitos. Barthes membahas mitos lebih serius dan menuangkannya pada bukunya yang diterbitkan oleh Noondy Press tahun 1972 berjudul Mythologies di bagian Myth Today. Dalam konteks mitologi lama, mitos berkaitan dengan sejarah dan terbentukan masyarakat pada masanya, tetapi Barthes memandangnya sebagai bentuk pesan atau perkataan yang harus diyakini kebenarannya walau tidak dapat dibuktikan.
Bagi Barthes mitologis bukan saja berbentuk perkataan saja melainkan juga dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, bahkan iklan dan lukisan. Di tangan Barthes semiotik digunakan secara luas dalam banyak bidang sebagai alat untuk berfikir kritis.
Pernyataan Barthes yang paling dikenal adalah “La Mort de l’auteur” atau “matinya si penulis”, The death of the author yang dengan itu ia ingin menggarisbawahi bahwa tidak ada otoritasi interpretasi, dan interpretasi dapat terus berjalan. Buku Mithologie (mitologi), karya Roland Barthes merupakan buku seri yang memuat artikel-artikel yang sebagian besar dipublikasikan dalam majalah Les Leures Nouvelles antara tahun 1954 dan 1956.
Tujuan dari majalah tersebut membahas nilai-nilai dan sikap yang secara implisit memuat berbagai pesan yang sesuai dengan kebudayaan seperti layaknya dalam koran, majalah, laporan, dan foto, melalui objek atau material seperti permainan, minuman, parfum dan mobil. Barthes menamakan pesan-pesan tersebut sebagai “mitos” (Yunani: muthos),artinya tuturan yang mempunyai makna pesan.

B.   Roland Barthes dalam Konstelasi Cultural Studies

Dengan membicarakan dan mengkaji budaya pop, Storey sekaligus melakukan pemetaan lanskap konseptual cultural studies secara umum meski diakuinya sendiri apa yang ditulisnya ini hanyalah sekedar pengantar atau semacam pendahuluan untuk memahami kajian budaya yang lebih menyeluruh dan mendalam. Sejumlah teori, istilah khusus, beberapa contoh analisis, tokoh-tokoh, dan hal-hal yang berkaitan dengan cultural studies dipaparkan secara ringkas. Teori-teori semacam strukturalisme, marxisme, feminisme, poststrukturalisme, feminisme, posmodernisme, poskolonialisme, kulturalisme, ideologi budaya massa, dan sejumlah teori kontemporer lainnya disajikan dalam bukunya.
Juga ada sejumlah teoretikus kontemporer yang dibicarakan, mulai dari Ferdinand de Saussure, Matthew Arnold, Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P.Thompson, Stuart Hall, Claude Levi-Strauss, Karl Marx, Antonio Gramsci, Theodor Adorno, Louis Althusser, Laura Mulvey, Janice Radway, Ien Ang, Janice Winship, Roland Barthes, Jacques Derrida, Jacques Lacan, Michel Foucault, Edward Said, Jean-Francois Lyotard, Jean Baudrillard, Fredric Jameson, Pierre Bourdieu dan sejumlah tokoh lainnya.
Objek-objek dan praktik-praktik budaya pop yang ditampilkan dalam buku ini pun beragam mulai dari seni lukis karya Andi Warhol, budaya liburan ke pantai, film serial TV seperti Dallas, film-film Hollywood seperti Dance with Wolves maupun Rambo, majalah perempuan, musik rastafarian Bob Marley, kelompok The Beatles, novel dan film Tarzan, novel-novel seperti Heart of Darkness dan Apocalypse Now, dan sejumlah objek serta praktik budaya pop lainnya. Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey menempatkan Roland Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan Pascastrukturalisme”.
Sebuah predikat yang tidak mudah untuk dikenakan pada tokoh-tokoh semacam Barthes, Foucault, Derrida ataupun, Baudrillard, mengingat luasnya kajian yang mereka bicarakan dalam sejumlah tulisan-tulisan mereka. Apa yang dilakukan Storey juga mirip dengan sejumlah teoretisi kajian budaya lainnya yang bukunya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebut saja misalnya Christ Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik terbitan Kreasi Wacana, 2005.

C. Pemikiran Roland Barthes

1.      Mitos Sebagai Sistem Semiologi
Mitos adalah suatu bentuk pesan atau tuturan yang harus diyakinii kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Mitos bukan konsep atau ide tertapi merupakan suatu cara pemberian arti. Secara etimologis, mitos merupakan suatu jenis tuturan, tentunya bukan sembarang tuturan. Suatu hal yang harus diperhatikan bahwa mitos adalah suatu sistem komunikasi, yakni suatu pesan (message). Tetapi mitos tidak didefinisikan oleh objek pesan melainkan dengan cara menuturkan pesan tersebut, misalnya dalam mitos, bukan hanya menjelaskan tentang objek pohon secara kasat mata, tetapi yang penting adalah cara menuturkan tentang pohon tersebut. Apa saja bisa dikatakan sebagai mitos selama diutarakan dalam bentuk wacana/diskursus.
Artinya, orang menuturkan tentang pohon dapat dibuat dalam berbagai macam versi. Pohon yang diutarakan oleh kelompok lingkungan bukan saja sebagai objek tetapi pohon mempunyai makna luas, psikologi, sakral, pelestarian dan seterusnya. Dalam arti pohon diadaptasi untuk suatu jenis konsumen, dengan kerangka literatur yang mendukung dan imaji-imaji tertentu yang difungsikan untuk keperluan sosial (social usage) yang ditambahkan pada objek murni. Pengertian mitos dalam konteks mitologi-mitologi lama mempunyai pengertian suatu bentukan dari masyarakat yang berorientasi pada masa lalu atau dari bentukan sejarah yang bersifat statis, kekal. Mitos dalam pengertian lama identik sejarah/histori, bentukan masyarakat pada masanya.
Menurut Barthes, ada dua kekeliruan besar dalam kehidupan sosial modern. Pertama, masyarakat berfikir bahwa institusi dan intelektual merupakan suatu hal yang bagus karena mereka mencangkup dalam sesuatu yang alami. Kedua, adalah melihat bahasa sebagai suatu fenomena yang lebih dari satu set bentuk konvensional. Barthes berusaha melakukian analisis dan mengkritik masyarakat. Simana imaji dan iklan, hiburan, budaya populer, dan literer, serta barang yang dikonsumsi sehari-hari ditelaah secara subyektif dalam hasil danpenerapannya.
Menurut Roland Barthes tuturan mitologis bukan saja berbentuk tuturan oral, tetapi tuturan itu dapat berbentuk tulisan, fotografi, film, laporan ilmiah, olah raga, pertunjukan, iklan, lukisan. Mitos pada dasarnya adalah semua yang mempunyai modus representasi. Paparan contoh di atas mempunyai arti (meaning) yang belum tentu bisa ditangkap secara langsung, misalnya untuk menangkap arti atau meaning sebuah lukisan diperlukan interpretasi. Tuturan mitologis dibuat untuk komunikasi dan mempunyai suatu proses signifikasi sehingga dapat diterima oleh akal. Dalam hal ini mitos tidak dapat dikatakan hanya sebagai suatu objek, konsep, atau ide yang stagnan tetapi sebagai suatu modus signifikasi. Dengan demikian maka mitos tergolong dalam suatu bidang
pengetahuan ilmiah, yakni semiologi.
Dalam hal hubungan mitos dan semiologi, Barthes berhutang budi pada Saussure. Sebab Saussure melihat studi linguistik sebagai studi kehidupan tanda dalam masyarakat, yang kemudian diadopsi dengan nama semiologi. Semiologi berasal dari kata semion yang berarti tanda. Semiologi tidak berurusan dengan isi melainkan dengan bentuk yang membuat suara, imaji, gerak, dan seterusnya yang berfungsi sebagai tanda. Mitologi terdiri dari semiologi dan ideologi. Semiologi sebagai formal science dan ideologi sebagai historical science. Mitologi mempelajari tentang ide-ide dalam suatu bentuk Mitos yang berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda signifier (significant) dan petanda signified (signife), dan kemudian bertautan lagi dengan istilah sign (tanda).
Misalnya satu karangan bunga menandakan cinta. Dalam hal ini berarti tidak hanya berurusan dengan signifier dan signified, bunga dan cinta, karena dalam tahap analisis terdapat tiga istilah, bunga yang menandakan cinta adalah sebagai tanda (sign). Dalam hal ini signifier adalah suatu konsep bahasa (bunga), signified adalah gambaran dari mental bunga, dan sign merupakan hubungan antara konsep dan gambaran mental yang melahirkan suatu arti, yakni: cinta. Jika hal tersebut diterapkan pada contoh psikis (Freud), bahwa psikis manusia adalah representasi. Misalnya, di satu pihak terdapat tingkah laku seseorang yang telah dipengaruhi oleh mimpi-mimpinya, di lain pihak terdapat sign yang mengartikan kejanggalan tingkah laku orang tersebut, kesalahan-kesalahan tuturannya atau hubungan keluarganya. Berkaitan dengan contoh tersebut Barthes cenderung memisahkan ketiga istilah signifier, signified, dan sign.

2.      Membaca Dan Mendeteksi Mitos

Untuk mengetahui atau mendeteksi mitos dapat dengan cara mengetahui karakter-karakter mitos seperti yang dikatakan Barthes sebagai berikut :
1. Tautologi :
Suatu pendefinisian dari suatu pernyataan yang tidak dapat diperdebatkan lagi, misalnya : “karena dari sananya sudah begitu” isi dari pernyataan tersebut telah direduksi menjadi penampilan. Sebagai contoh lain adanya suatu pernyataan-pernyataan hampa seperti “ Midnight’s Summer Dream adalah karya Shakespere“ tidak mengatakan apa-apa tetapi mengandung implikasi lainnya seperti prestise karena dalam pernyataan itu terdapat nama Shakespere.



2. Identifikasi:
perbedaan, keunikan direduksi menjadi satu identitas fundamental. Misalnya: “semua agama adalah sama” atau sama sekali diasingkan dibuat agar tidak dimengerti.
3. Neither-norism (bukan ini bukan itu)
Orang yang menganut opini dalam posisi di tengah tidak berani memilih/memihak.
4. Mengkuantitaskan yang kualitas
Kualitas direduksi ke kuantitas, semua tingkah laku manusia, realitas sosial dan politik direduksikan kepada pertukaran nilai kuantitas. Sebagai contoh misalnya kesuksesan sebuah karya seni jika menghasilkan banyak uang, demikian pula untuk mengukur kesuksesan seorang aktor atau aktris. Masalah besar seperti kemiskinan direduksi menjadi angka-angka belaka.
5. Privatisasi Sejarah
Mitos membuang arti sejarah yang sebenarnya, sejarah hanya diperuntukkan sajian tamu/pejabat misalnya objek seni untuk turis, atau sebagai pertunjukan.

3.      Fashion

Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan panjang lebar mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam buku ini Barthes juga membicarakan operasi struktur penanda (signifier) mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau signifikansinya. Memang kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas dari bidang semiotika yang selama ini dikembangkannya. Pada salah satu kesimpulannya mengenai tata busana ini, Barthes menyatakan  sebagai berikut.

“... in the West, fashion tends to become a mass phenomenon, precisely insofar as it is consumed by means of a mass-circulation press (whence the importance and, as it were, the autonomy of written fashion), the maturity of the system is thus adopted by mass society according to a compromise. Fashion must project the aristocratic model, the source of its prestige: this is pure fashion, but at the same time it must represent, in a euphoric manner, the world of its consumers by transforming intra-worldly functions into signs (work, sport, vacations, seasons, ceremonies): this is naturalized fashion, whose signifieds are named. Whence its ambiguous stastus: it signifies the world and signifies itself, it constructs it self here as a program of behavior, and the as a luxurious spectacle (Barthes, 1983a:292-293).”

Dunia mode merupakan proyek model kaum aristokrat sebagai salah satu bentuk atau wujud pretise. Pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang juga harus disesuaikan dengan fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk kantoran, olah raga, liburan, berburu, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu seperti pakaian musim dingin, musim semi, musim panas ataupun musim gugur. Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas. Yang tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode. Tata busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan busana, menjadi sebuah tontonan yang memiliki prestisenya tersendiri, menjadi simbol status kehidupan.
Hal ini tidak hanya terjadi di dunia Barat saja, tetapi juga tengah melanda Indonesia. Barthes tidak salah membidik salah satu aspek ini, yakni mode, sebagai salah satu kajiannya, mengingat Paris merupakan kiblat mode dunia. Begitulah, salah satu topik pembicaraan Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busana di berbagai kota metropolis. Status seseorang dalam masyarakat seringkali dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya. Padahal kalau ditelusuri, dunia mode adalah salah satu pelegitimasi ideologi gender yang selama ini sering dikonter oleh para feminis.

4.        Camera

Selain bicara tentang mode, Barthes juga berbicara tentang foto, khususnya tentang foto-foto dalam media massa dan iklan. Hal ini diungkapkannya dalam dua artikelnya, “The Photographic Message” pada 1961 dan “Rethoric of the Image” juga pada 1961. Lewat dua artikelnya ini, Barthes menguraikan makna-makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media massa dan iklan. Foto sebagai salah satu sarana yang sanggup menghadirkan pesan secara langsung (sebagai analogon atau denotasi) dapat meyakinkan seseorang (pembaca berita atau iklan) bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang, yakni fotografer.
Akan tetapi, di balik peristiwa tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik (coded-iconic message) yang menuntut pembacanya untuk menghubungkannya dengan “pengetahuan” yang telah dimiliki sebelumnya. Di sejumlah media massa Indonesia pada tahun 1998, ketika Presiden Soeharto menandatangani LoI dengan IMF, tampak Camdesus tengah memperhatikan Soeharto yang tengah membubuhkan tanda tangan. Wakil IMF itu berdiri mengawasi dengan posisi tangan bersedekap. Sebagai analogon atau makna denotasi, foto ini hanya menyatakan telah terjadi penandatangan nota persetujuan antara RI yang diwakili Soeharto dengan IMF yang diwakili Camdesus. Akan tetapi, posisi tangan Camdesus dan caranya memandang Soeharto membubuhkan tanda tangan secara konotatif memaknakan dia telah menaklukkan seorang pemimpin yang telah 32 tahun berkuasa.
Contoh-contoh analisis semacam inilah yang dikemukakan Barthes dalam analisisnya tentang sejumlah foto. Salah satunya tentang seorang tentara berkulit hitam yang mengenakan seragam militer Prancis yang tengah memberikan penghormatan militer, matanya terpancang pada bendera nasional. Foto ini menjadi sampul dari majalah Paris-Match. Dalam analisisnya, Barthes menyatakan bahwa foto itu ingin menyatakan Prancis sebagai sebuah negara besar, tempat para putranya, tanpa diskriminasi warna kulit, dengan penuh setia, melayani bangsa di bawah kibaran benderanya. Foto itu merupakan konter atas para pencela kolonialisme (Culler, 2003:52).
Seorang fotografer dalam memotret meringkali memperhatikan pose, objek yang dipilihnya, logo-teknik, dan juga sejumlah manipulasi demi tercapainya apa yang hendak “ditulisnya”. Hal ini seringkali ditemukan dalam sejumlah media cetak, terlebih lagi pada iklan yang lebih menekankan kekuatan foto pada aspek-aspek daya tariknya sebagai sarana persuasif yang seringkali memanfaatkan tema-tema keintiman, seks, kekhawatiran, dan idola (St. Sunardi, 2004:157-158).
Hanya dalam buku Camera Lucida, Barthes tidak memfokuskan pada foto-foto dalam media massa dan iklan tetapi memfokuskan kajiannya pada koleksi foto-foto pribadinya. Berbeda dengan pendekatannya pada dua artikelnya pada 1961 yang lebih memusatkan analisisnya pada semiotik atas foto sebagai produk budaya, dalam Camera Lucida, Barthes menyebutnya dengan pendekatan fenomenologi sinis. Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman, tapi bukan sembarang pengalaman, melainkan pengalaman seseorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang foto merupakan ziarah menuju jati dirinya yang melewati tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto, karena tidak setiap foto membuat kita terpaku pada satu titik (St. Sunardi, 2004:166).




D.  Roland Barthes di Mata Pembaca Indonesia

Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya tentang semiotika (semiologi) terutama tentang konsep pemaknaan konotatif atau yang lebih dikenal istilah second order semiotic system. Juga pernyataan Barthes tentang kematian pengarang, atau the dead of the author, seringkali dikutip dengan berbagai ketidakjelasan. Dalam hal ini, kata “author” tidak lagi mempunyai otoritas dalam memberikan interpretasi terhadap karyanya. Pembacalah yang kemudian memberikan interpretasi sesuai dengan horison harapannya. Sayangnya, kata “pengarang” dalam bahasa Indonesia tidak memiliki kedekatan dengan kata ‘otoritas’ dalam konteks penafsiran terhadap karya sastra. Oleh karena itu, menurut Barthes, meski “author” telah mati, tetapi “the writer” tidak mati setelah karya sastra itu dipublikasikan. Writer atau penulislah yang kemudian menikmati royalti dari penerbit karya sastra yang mereka jual kepada pembaca. Penulis jugalah yang kemudian namanya dibicarakan dalam sejumlah kritik atau resensi dalam sebuah media cetak.
Dalam konteks ini, Barthes membedakan pengertian kata author dengan writer secara jelas. Barthes tidak hanya sering disalahpahami konsep-konsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh strukturalisme atau poststrukturalisme dan ahli semiotika. Bukubuku yang membicarakan Barthes terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali terbatas dalam kategorikategori tersebut. Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari. Sebut saja misalnya: Semiologi Roland Barthes oleh Kurniawan (2001), Barthes, Seri Pengantar Singkat edisi terjemahan tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika Negativa karya St. Sunardi (2004).
Dalam edisi bahasa Indonesia, karya-karya Barthes atau pembicaraan mengenai Barthes tidak lebih banyak dibandingkan pemikir Prancis lain yang merupakan sahabat sekaligus rival intelektualitasnya, yakni Michel Foucault. Buku Barthes yang berjudul Mitologi (terjemahan dari Mythology yang diterbitkan Kreasi Wacana, 2005) muncul belakangan setelah sejumlah karya Foucault terlebih dahulu dikenal pembaca Indonesia. Kedua pemikir asal Prancis ini, bersama dua rekan lainnya, Lacan dan Claude Lévi-Strauss sering dikategorikan sebagai empat pemikir utama kontemporer asal Prancis yang tidak hanya terkenal di negerinya sendiri tetapi telah menjadi trend pemikiran dunia. Pada akhir 1960-an, mereka seringkali dicitrakan sebagai fashion strukturalis, bahkan mereka dikarikaturkan oleh Maurice Henry tengah berdiskusi di rerumputan dengan mengenakan baju rumput.
Dari buku-buku di atas, hanya dua judul yang terakhir yang mengupas karya-karya Barthes secara menyeluruh. Buku Kurniawan lebih mengupas teori-teori Barthes dalam kajian semiotika. Dalam buku Culler dan St. Sunardi, tampaklah bahwa Barthes seorang pemikir yang kaya warna, tokoh penting abad XX dari Prancis. Culler bahkan menyebut Barthes sebagai manusia yang terbagi karena dia memiliki sejumlah keahlian dalam berbagai bidang, ia adalah sejarawan sastra, mitolog, ahli semiotika, strukturalis, seorang hedonis, penulis, dan manusia huruf.















E.   Penutup

Teori semiologi Roland Barthes (1915-19980) jelas sangat erat dengan teori semiologi Ferdinand de Saussure (1857-1913). Perbedaannya, Saussure sebagai bapak semiotik menyatakan bahwa “bahasa adalah suatu sistem tanda” lebih bersifat dikotomik. Sedangkan Barthes lebih triadik dengan ketiga elemennya yakni signifier,signified, dan sign. Selain itu semiotiknya bergerak lebih luas. Melihat hal ini kita bisa mengkomparasikan semiotik Barthes dengan Peirce yang juga bersifat triadik: sign, object, interpertant. Kesamaannya adalah mereka menggunakan semiotik dalam banyak bidang. Bagi Peirce yang perlu digarisbawahi adalah aspek interpertasi. Setiap tanda dapat diinterpertasikan secara terus-menerus. Tetapi bagi kedua tokoh Roland Barthes maupun Peirce, semiotik atau semiologi adalah alat untuk berpikir kritis. Bila Barthes mengatakan kita harus menguraikan mitos, Pierce mengatakan kita harus menguraikan teks.
Beberapa contoh kajian Barthes tentang aspek-aspek budaya massa atau pop sebagaimana dibicarakannya dalam beberapa buku tersebut, dari sekian buku Barthes yang lain, telah memberikan gambaran yang jelas bahwa pemikir Prancis ini tidak saja sebagai tokoh semiotika yang selama ini dipredikatkan kepadanya, tetapi juga sebagai seorang tokoh pengkaji cultural studies. Kepakaran Barthes dalam bidang semiotika seolah-olah menenggelamkan ketertarikan Barthes dalam bidang lainnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Culler, Barthes merupakan manusia banyak dimensi, manusia dengan sejumlah keahlian.
Seringkali Barthes dikategorikan sebagai seorang strukturalis sekaligus seorang poststrukturalis; memang sebuah kategori yang tidak mudah untuk memberi predikat kepadanya. Pemikir Prancis yang meninggal pada 1980 akibat diseruduk truk sehabis keluar dari sebuah kafe di Paris ini, tidak diragukan lagi merupakan tokoh kajian budaya Prancis, selain tokoh-tokoh asal Inggris semacam Hoggart maupun Williams. Barthes adalah penulis sejumlah fenomena budaya populer khususnya di Prancis selain sebagai tokoh semiotika yang terkenal dengan bukunya yang berjudul Eléments de Sémiologie (1964).



Daftar Pustaka

Barthes, Roland. 1983. Mythologies (translated by Annette Lavers). New York: Hill and Wang.
Barthes, R. 1967. Denotation and Conotation dalam Element of Semiology, London:Jonatahan Cape.
Culler, Jonathan. 2002. Barthes, Seri Pengantar Singkat (terjemahan Ruslani). Yogyakarta: Jendela.
Zoest, A.V. Semiotika, Tentang Tanda, Cara Kerjanya. Terjemahan Ani Sukowati. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

No comments:

Post a Comment